Oktober 04, 2022

Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, Siapa yang Salah?

Penulis : Agus Pamuji 

Pegiat Medsos
Mantan Wartawan Balikpapan Pos


SAYA secra pribadi maupun sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) turut berduka cita mendalam atas musibah kemanusiaan yang dialami saudara kita para suporter Aremania di Stadion Kanjuruhan Malang, Jatim, dalam gelaran laga Sepakbola Arema v Persebaya, 1 Oktober 2022 lalu. Di mana dalam musibah itu menelan korban meninggal dunia 125 orang dan korban luka-luka 300 lebih (berbagai sumber resmi media tv nasional dan instansi pemerintah), belum lagi kerugian materiil lainnya yang hancur. 
 
Rasa prihatin yang mendalam dan  penyesalan tersebut, didasari atas meninggalnya ratusan suporter Aremania yang tidak berdosa ketika mereka tengah menikmati tontonan pertandingan sepakbola di kandangnya sendiri sebagai bentuk fanatismenya terhadap pemain Arema. Ini merupakan tragedi kali pertama yang sangat memilukan dalam catatan sepanjang sejarah persepakbolaan di tanah air hingga menelan korban meninggal 125 orang, bahkan ketiga besar persepakbolaan dunia.
 
Semoga ALLAH SWT menempatkan para korban meninggal ini Husnul Khotimah dan yang luka-luka segera sembuh. Aamiinn.
Sayangnya,  peristiwa tragis tersebut menurut pihak PSSI kejadiannya di luar perkiraan. Yaaa--- PSSI sebagai lembaga resmi penyelenggaraan sepakbola di tanah air menyampaikan pandangannya seperti itu. Bukankah setiap event laga sepakbola di tanah air seringkali diwarnai kericuhan dan bentrok antarsuporter, pemain, warga, juga dengan aparat keamanan? 
Bukankah kejadian yang terus berulangkali itu, juga dikatakan di luar perkiraan, hah? 
Ironisnya lagi, kali ini Liga I Pertandingan Sepakbola Arema v Persebaya di Stadion Kanjuruhan itu berlangsung malam hari, tanpa dihadiri para suporter Bonek Suroboyo, alias pihak stakeholder yang menyelenggarakan laga ini hanya memperbolehkan para suporter Aremania yang masuk di Stadion Kanjuruhan sekira 35 ribuan penonton. Bisa dibayangkan, andai saja kedua kubu suporter Bonek Suroboyo dan Aremania Malang dibolehkan bertemu dalam satu event pertadingan tersebut, kemudian berubah jadi bentrok massal, maka dapat diprediksi menelan korban lebih banyak lagi?

Lah ini enggak, hanya dibanjiri penonton suporter Aremania saja, itu pun masih bisa bentrok dengan aparat keamanan. Miris memang, dugaan pemicunya berasal gas air mata pedih yang ditembakkan oleh sejumlah personel kepolisian ke arah tribun.
Tak ayal, puluhan ribu penonton panik, tunggang langgang berlarian menyelamatkan diri. Dalam situasi kacau seperti itu, korban yang ingin menyelamatkan diri terinjak-injak oleh suporter lainnya, gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun membuat para penonton lainnya mengalami sesak napas dan mata pedas, sehingga korban berjatuhan meninggal dunia dan luka-luka, karena tak sempat keluar stadion menyelamatkan diri, termasuk dua personel kepolisian meninggal dunia. Tindakan represif aparat kepolisian dengan menggunakan gas air mata sangat disayangkan berbagai pihak.
Padahal, jelas sekali pihak FIFA melarang keras penggunaan gas air mata kepada penonton saat kericuhan. 

Tragedi ini menyedot perhatian publik tanah air maupun berbagai pihak luar negeri. Para petinggi negeri ini langsung bereaksi keras, berdoa dan ucapan belasungkawa dari sejumlah pihak yang terus berdatangan. Uang santunan dan layanan kesehatan  bagi para korban juga diberikan cuma-cuma. 
Pertanyaan besarnya siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut? Siapa yang disalahkan? 
Penulis tak memposisikan sebagai pihak yang men-justifikasi ke stekeholder selaku leading sector atas jalannya liga sepakbola yang paling bergengsi itu, karena semua yang sudah terjadi itu, kini masuk ranah hukum. Aparat gabungan kini tengah melakukan investigasi, penyelidikan sampai ke tingkat penyidikan, sehingga mari kita semua menunggu kesimpulannya, kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum. 
 
Apalagi FIFA juga ditunggu publik untuk menjatuhkan sanksi apa? Tetapi menurut penulis, paling tidak tragedi kemanusiaan itu harus dicari akar persoalannya dulu, apakah sistem manajemennya yang keliru, apakah aparat keamanannya yang bertindak over prosedural? Atau pihak klubnya, official, panitia, PSSI dan lainnya yang tidak sinergis? 
Lalu muncul "emosi" apakah PSSI perlu dibubarkan?, jangan !. Apakah para klub sepakbola dibubarkan ? Wah ya jangan!
Apakah setiap pertandingan dilarang keras di stadion ada penontonnya (suporter) agar aman, juga tidak mungkin 

Inilah yang perlu  dikaji mendalam dengan segera dievaluasi serta dibenahi secara keseluruhan, agar ke depannya tidak terus terulang. 
Pasalnya, pertandingan sepakbola di era kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi kekinian, bukan lagi sekadar menikmati tontotan semata, bukan pula sekadar hiburan yang menyenangkan,  melainkan saat ini sudah merambah luas sebagai bentuk industrialisasi persepakbolaan kelas dunia internasional, kenapa? Jelas para pemainnya berprestasi, profesional, lolos berbagai ajang seleksi dan kompetisi di semua tingkatan.  Selain itu, ada unsur bisnis, finansial, ekonomi, politik dan budaya.

Pemain yang prestasi dan terkenal dikontrak karena dibayar mahal, wasit yang profesional dan berintegritas bayarannya mahal, manajer dan pelatih pun harganya mahal, juga harus teken kontrak yang didatangkan dari luar negeri. 
Efek domino lainnya tentu  perekonomian di sekitar area pertandingan tumbuh pesat, misalnya para pedagang, penjualan karcis ludes, parkir kendaraan hingga faktor jaminan keamanan dan sebagainya.
 
Jika semua sistemnya sudah baik, regulasi maupun aturan hukumnya sudah disepakati bersama, masih saja timbul kerusuhan, berarti itu faktor manusianya yang tidak sportif. Artinya apa, harapan agar semua pihak yang terlibat langsung dalam pertandingan tersebut, seperti wasit, offisial, pelatih, manajer, panitia, PSSI dan penonton harus menjaga komitmen bersama untuk melaksanakan secara fair play dan kondusif pupus sudah menjadi berantakan. Padahal jujur itu kunci keselamatan bersama yang amat mahal, maka ketika salah satu pihak tidak jujur alias bermain curang, spontan suporter bisa ngamuk, apalagi pemainnya. 

Kondisi inilah yang sering terjadi dalam dunia persepakbolaan di tanah air, bahkan sepakbola dunia. Jangankan sepakbola, event-event lainnya seperti bola voli, karate, pencak silat, kuda lumping dan panggung hiburan juga diwarnai keributan. 
Bukankah setiap permainan pasti ada kalah-menang?  Hendaknya itu yang harus dipahami dan sadari bersama.
Inti dari setiap gelaran apapun namanya, kembali pada manusianya. Karena hakekatnya manusia itu punya nafsu angkara murka, bisa bertindak zholim, arogan, kuasa dan sombong. Karena itu,  penulis mengajak kepada kita semua merenung diri, sadar dan evaluasi. Karena sering kali lupa terkadang setiap ucapan dan perkataan yang emosial dan menggebu-gebu bisa menjadi doa yang mujarab, sehingga ALLAH SWT kabulkan dan ridhoi, menjadi sebaliknya timbul tragedi yang memilukan hati. Ini fakta (real time)

Semoga ada hikmah besar yang amat berharga bagi kita semuanya di balik peristiwa tersebut, agar setiap event apa saja tetap berlangsung aman, damai, menyejukkan dan kondusif. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI. Kita junjung tinggi sikap sportivitas.  Aamiinn Yaa Rabb.

Wallahualambissawwab.(*)
Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM