catatan : max oroh
JAJAH, dijajah, menjajah, penjajahan; kata-kata tersebut telah lama dicekoki dan mencekoki pola pikir kita sejak dari bangku sekolah -- apalagi bagi mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan. Dan kita tak lagi sempat berpikir kritis untuk maju, seperti dipaksa jalan di tempat.
Kita tak lagi sempat berpikir dengan jernih, ambil contoh ini : Apa benar penjajahan oleh Belanda terhadap bangsa ini terjadi selama 350 tahun? Siapa yang mengatakan pertama kali bahwa kita dijajah selama 350 tahun?
Kita hanya menelan mentah-mentah bahwa "penjajahan" adalah "jahat"; membodohi, menguras, memiskinkan, menyengsarakan mereka yang dijajah. Apa hanya sampai di situkah cara kita melihatnya? Apakah penjajahan itu hanya dilakukan oleh bangsa kuat dari luar yang mengintip dan mengancam secara militer, ekonomi dan teknologi -- dari strategi perang kuno hingga strategi perang asimetris --terhadap bangsa yang lemah tapi memiliki sumber-sumber daya alam yang melimpah, tapi mengabaikan ancaman dari dalam negeri sendiri? Lalu, berbanggalah bangsa itu setelah "merdeka" dari belenggu penjajahan. Apa hanya sebegitukah makna "kemerdekaan" dari perhambaan bangsa asing?
Sindrom Xenophobia
Selanjutnya penjajahan itu menjadi sebuah "xenophobia" terhadap hal-hal yang berbau asing. Sementara, tanpa kita sadari, pikiran kita pun seolah ingin dipaksakan dan "dijajah" oleh sindrom "xenophobia" itu sendiri.
Kita tidak lagi sempat berpikir bahwa "merdeka" bukan berarti dan bukan serta merta berarti "bebas dari segala sesuatu", lalu dengan serta merta pula siapapun boleh berbuat sekehendak hati, mengumbar kebencian melalui cara-cara "hoax" dalam kemasan yang sudah dipercantik dan menarik, mengumbar nafsu permusuhan tanpa batas, bebas merusak apa saja, bebas menghujat, bebas mencaci-maki, bebas memfitnah, bebas menghina, dan semua itu dilakukan sambil berlindung di balik prinsip dasar "demokrasi" sebagaimana yang terjadi sekarang yang dengan bangga telah diproklamirkan sebagai "era reformasi" itu. Tentu tidak!
Jangan senang dulu dengan kebebasan. Bebas tidak berarti merdeka dari sesuatu, tapi merdeka untuk sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Bangsa ini bukan sedang melawan seperangkat ajaran menyimpang atau konsep ideologi yang memporakporandakan ajaran yang baik. Jika cuma hal seperti itu dengan mudah pula masih dapat kita hadapi rumusan konsep lain yang lebih unggul dan sahih. Tunggu dulu! Yang kita hadapi adalah lawan dari sebuah kekuatan nyata yang ada dalam segala lini dan struktur, yang ada dalam segala segmen masyarakat yang telah teracuni oleh "xenophobia" yang merusak: Siapa itu? Si jahat!
Si jahat ini tak boleh dipandang enteng. Karena ia tak kalah seru jika ingin dibandingkan dengan yang ada dalam film-film aksi.
Jadi, jangan memandang enteng kejahatan dalam bentuk apapun. Pandang enteng akan salah, karena itu akan membuat kita lengah. Sebaliknya, kehilangan percaya diri itu pun salah, karena ini bisa membuat kita keok sebelum masuk arena laga. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar