SANGATTA,
KABARKALTIM.CO.ID- Konflik pertanahan di
Kabupaten Kutai Timur (Kutim),
wilayah Pemprov Kaltim marak terjadi melibatkan
masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Ini terungkap dalam rapat koordinasi tim
Panitia Tata Batas Badan Pengolah Kawasan Hutan (PTB BPKH) Wilayah IV
Kaltim/Kaltara di Kantor Bupati Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi, Senin
(25/9/2017).
Rakor tim PTB BPKH Kaltim. (baharsikki/kk) |
Tim PTB BPKH Kaltim mengidentifikasi soal konflik tanah
di Kutim, khususnya di wilayah tiga kecamatan: Yaitu, Teluk Pandan, Kongbeng dan Telen. Di
Kecamatan Teluk Pandan ada kawasan Hutan Lindung (HL) Bontang. Dari kawasan HL
tersebut telah disepakati seluas 60. 21 hektare yang akan dikeluarkan karena
kini sudah menjadi pemukiman masyarakat Desa Suka Rahmat dan Desa Suka Damai,
Kecamatan Teluk Pandan. “Sesuai peraturan, kalau sudah ada rumah penduduk
berkelompok di situ jumlahnya tidak kurang dari sepuluh unit, maka itu sudah
bisa dilepas menjadi APL (Areal Penggunaan Lain, Red) dari HL,” jelas Ketua PTB BPKH Maryuna
Pabutungan.
Untuk kasus Telen 199 Hektare dan Kongbeng, ada masuk
kawasan HL tapi sudah diolah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan digarap
anggota Koperasi Usaha Etam Bersama (KUEB). Bahkan di dalam kawasan HL yang
bermasalah itu sudah terbit Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan Astra Group
yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional. “Inii terjadi karena ada perubahan skala
ukur dari 250 ribu menjadi 50 ribu. Otomatis
di lapangan timbul perbedaan,” urainya.
Padahal sejatinya, lanjut Maryuna, kalau tanah itu sudah masuk kawasan HL, maka
tidak dibenarkan dibuatkan izin
perkebunan kelapa sawit. Namun di Kutim lahan KUEB seluas kurang lebih 120 Ha
telah terbit SK. Bupati Kutim No. 525/K571/2010 tanggal 10 Juni 2010 berdasar
SK. 79/Menhut-II/2001 menyatakan lokasi yang disengketakan merupakan APL. Namun
berdasar SK. 718/Menhut-II/2014 tanggal 29 Agustus 2014 lokasi bermasalah itu
merupakan hutan produksi tetap, dengan mengacu SK. Penetapan No.
470/Kpts-II/1999 tanggal 28 Juni 1999.
“Ketika Bupati Kutim mengeluarkan izin di kawasan itu,
statusnya sudah APL. Tapi belakangan terbit SK. 718 dari Menteri Kehutanan,
bahwa areal KUEB masuk hutan produksi. Bagaimana ini. Bahkan Pemkab Kutim sudah
menyurati Kementerian Kehutanan Ri di Jakarta, dan juga sudah melaporkan ke
BPKH Kaltim di Samarinda terkait masalah ini, tapi sampai saat ini belum ada
solusinya,” beber Sugiono, perwakilan tim PTB dari Bappeda.
Masalah pelik pertanahan, menurut Maryuna, bukan hanya
terjadi di wilayah Kutim. Bahkan daerah lain pun seperti Kalimantan Tengah (Kalteng) juga banyak terjadi kasus tanah. Oleh karena
itu, agar permasalah pertanahan, khususnya tapal batas kawasan HL dan tanah
milik masyarakat sebaiknya dituntaskan melalui jalur ambudsman. Supaya tim PTB
BPKH Kaltim punya pijakan dalam melaksanakan tugas negara. “Malah kami enak
bekerja kalau ada pedoman tetap,” harapnya. (baharsikki)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar