Pancasila Sokoguru Bangsa Indonesia, Sokoguru Rumah Bhinneka Indonesia Kita
Oleh: Mike Oscar
Oleh: Mike Oscar
Sebagai warga negara biasa, saya tentu masih awam, agak bingung, dan
selalu saja ada seliwer tanya dan tanya di dalam pikiran. Misalnya: Apa,
kenapa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi dengan perkembangan
situasi dan kondisi (sikon) terkini yang terjadi pada bangsa dan
negaraku? Itu tentu disebabkan oleh berbagai apa yang berseliweran
melalui berbagai kabar dari media, dari cetak hingga elektronik,
ditambah lagi dari media yang bersifat pribadi seperti medsos: facebook
dan twitter contohnya! Namun seliweran tanya-tanya tersebut tetap
bergelayutan di pikiran, karena belum saya temukan jawaban yang
memungkinkan, apalagi untuk diketengahkan ke ranah publik.
Setelah saya anggap telah cukup menemukan jawaban-jawaban sederhana dan
rasional dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka saya ekspresikan
melalui tulisan di forum opini media ini. Harap dapat dimaklumi bahwa
apa yang saya tuliskan di sini hanya sejauh dengan apa yang mampu saya
pahami melalui informasi dan kabar yang berseliweran sebagaimana yang
sudah saya ungkapkan di atas.
Ijinkan saya urun rembug di sini
untuk menyikapi dan mengekspresikan apa yang mampu saya pahami, secara
awam pula, dalam mengamati perkembangan sikon terkini yang terjadi pada
bangsa dan negaraku Indonesia ini, di mana sebagai warga negara ada di
dalamnya. Dan, sebagai seorang warga negara, saya pun berkewajiban
menyumbang pemikiran kepada pemerintah. Entah nantinya itu berguna atau
tidak, saya tidak tahu dan tidak berpamrih untuk tahu. Karena ini hanya
catatan kecil.
Beberapa pemikiran yang saya majukan di sini juga
tidak terlepas sebagai bentuk kekhawatiran dan keprihatinan seorang anak
bangsa, tentu pula itu sama dengan warga negara lainnya yang tergerak,
terpanggil, peduli dan turut bertanggung jawab terhadap sikon bangsa dan
negara dalam bingkai kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya;
demikian juga dengan bangkitnya sel-sel tidur terorisme dan maraknya
ancaman terhadap toleransi.
Perlu Lebih Tegas dan Lebih Keras
Pemerintah perlu segera lakukan ‘shock therapy’ (terapi kejut)lebih tegas dan lebih
keras terhadap tindakan-tindakan ‘semau gue’ ataupun yang ‘suka-suka
kami’ serta anarkis dari kelompok-kelompok ataupun ormas-ormas radikal
yang tidak lagi menghormati norma-norma hukum yang berlaku.
Mereka tersebut telah dengan nyata dan sengaja melecehkan konstitusi,
ideolog negara, hukum, dan kewibawaan pemerintah. Mereka pamerkan
arogansi dan perbuatan yang merongrong serta sekaligus seolah-olah ingin
menunjukkan kepada masyrakat bahwa pemerintah tidak berdaya menghadapi
mereka.
Pamer kekuatan mereka tersebut sekaligus pula akan,
bahkan telah jelas, dapat membahayakan terhadap kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, terhadap Pancasila, UUD ’45, ke-Bhinneka Tunggal Ika-an,
dan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mereka, para kaum anti bentuk negara dan ideologi negara, dan
keberagaman bangsa ini, telah melihat dengan cermat serta memanfaatkan
dengan licik ‘pintu-pintu masuk’ dan ‘celah-celah perlindungan’ untuk
menjalankan agenda-agenda tersembunyi dengan melakukan infiltrasi ke
segenap institusi yang ada, baik di pemerintahan, partai politik,
organisasi masyarakat, lembaga-lembaga keagamaan, dan bentuk-bentuk
organisasi lainnya.
Pintu-pintu Masuk
Yang saya maksud
dengan pintu-pintu masuk di atas tadi adalah adalah jalur-jalur agama
dan demokrasi. Mereka tahu kesensitifan pemerintah sejauh hal-hal yang
berkaitan dengan isu-isu agama dan kebebasan berekspresi yang terlindung
dalam prinsip-prinsip demokrasi. Tidak heran jika aparat penegak hukum
akan ‘keok’ saat berhadapan dengan isu agama dan prinsip demokrasi.
Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah contoh paling nyata. Ambil
contoh kasus ini, sebenarnya mereka telah kelimpungan saat menyerang
Ahok dari segala sisi, mereka kesal dan terlihat hanya isu-isu lama saja
yang mereka gunakan. Padahal semua isu-isu tersebut mentah dan
kehilangan daya gempurnya setelah Ahok dengan dahsyat dan piawainya
menyerang balik dengan data-data valid serta membalikkan keadaan.
Untuk sementara mereka malu. Jika diibaratkan pasukan di medan tempur
mereka terpukul mundur. Belum kalah hanya mundur untuk
mengkonsolidasikan kembali kekuatan sambil menyusun strategi, menunggu
momen tepat, dan tentu terus memantau secara cermat apakah masih ada
‘pintu masuk’ lainnya untuk menyerang balik ke Ahok dan kubunya.
Toh, akhirnya oleh keteledoran Ahok sendiri di Kepulauan Seribu mereka
menemukan kembali pintu masuk untuk menyerang balik dengan taktis. Pintu masuk itu adalah isu agama, yang kemudian populer dikenal
sebagai Al Maidah 51.
Kita tentu sudah tahu, dari semua isu yang dipergunakan sebelumnya untuk menyerang dan mendeskreditkan Ahok; dari
yang Tionghoa, yang Kristen, yang korupsi, yang nepotisme, yang kasar,
yang tak tahu etika, dllnya lagi… ternyata semua isu-isu tersebut kandas
bahkan terbenam begitu saja dalam memori kolektif masyarakat cerdas;
dan tergiling dalam pusaran sang waktu yang membuangnya ke tempat
pembuangan akhir isu-isu sampah.
Selain itu, mereka pun
memanfaatkan perangkat canggih yaitu internet, dengan melahirkan
situs-situs berita untuk menyebarkan informasi dan memanfaatkan media sosial untuk
berinteraksi dengan masyarakat atau kini sering disapa sebagai warganet.
Sayangnya,
internet bagi mereka bukan lagi untuk tujuan positif, tapi diubah
menjadi alat propaganda perjuangan yang efektif dan efisien untuk
menebar fitnah, hujat, dan teror baik yang berubah tulisan maupun foto;
semua itu namun melulu jadi negatif. Bagi mereka internet adalah
‘senjata’ ampuh untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah melalui
penyebaran informasi palsu/bohong (hoax) dan pemutarbalikan fakta.
Begitupun mereka tahu kebijakan udara terbuka di era internet ini
sangatlah menguntungkan untuk memperjuangkan cita-cita paham dan
ideologi mereka, dan memang itu sah sah saja.
Namun di celah inilah
mereka menemukan jalur tol yang serba cepat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan mereka yang destruktif, sudah tentu itu dilakukan dengan
cara-cara licik dan melulu menghalalkan segala cara.
Celah-celah Perlindungan
Begitupun, dalam hal mengantisipasi serangan balik dan ancaman hukum
yang tertuju balik kepada mereka maka mereka pun tak henti mencari
celah-celah yang memungkinkan untuk meloloskan diri. Nah, mereka
akhirnya menemukan juga celah-celah perlindungan tersebut; yakni mereka
mendapatinya pada jalur hukum, agama, dan HAM.
Contoh nyata,
pada saat pemimpin ormas dan ustadz yang mereka tokohkan mulai terancam
dan diduga melakukan pelanggaran hukum; maka dengan serentak mereka
menyanggah dan membantah hal itu dan mulai memutarbalikkan fakta bahwa
pemerintah telah mengkriminalisasi ulama. Di sisi ini terlihat mereka
sekaligus menggunakan celah perlindungan yang mengkaitkan hukum
(kriminalisasi) dengan agama (ulama). Padahal di negara hukum ini, semua warga negara adalah sama di depan hukum.
Kelicikan-kelicikan seperti itu
justru menjadi bahan tertawaan saja. Apa sebab? Karena begitu lucunya
mereka dengan tiba-tiba mengangkat pemimpin ormas dan ustadz yang
terancam dan diduga melakukan pelanggaran hukum tersebut sebagai ulama.
Tak hanya sampai di situ, mereka pun meminta perlindungan lembaga hak
asasi manusia (HAM), baik di dalam negeri maupun (dan ini lebih lucu
lagi) meminta bantuan lembaga HAM dunia. Tapi OKlah, itu hak setiap
pribadi untuk meminta perlindungan hukum dan hak asasinya. Hanya aneh
saja sih, jika si maling teriak maling kepada lembaga penegak hukum yang
akan memproses hukum terhadap dirinya. He.. hee… heee…..
Pancasila Tetap Sakti
Jika kita kilas balik akan terbaca rekam jejak gerakan serta para
tokoh-tokoh pelakon utama dan kemudian menjadi penggerak kaum
anti-Pancasila maupun anti bentuk ketatanegaraan bangsa ini ternyata
mereka lahir ataupun dilahirkan dari kemelut situasi politik menjelang
dan awal era reformasi. Mungkin pula itu juga sudah menjadi rahasia
umum; bagaimana mereka lahir dan siapa yang melahirkannya. Tapi, hal itu
tak lagi penting untuk diperdebatkan.
Adalah mungkin kaum
anti-Pancasila menganggap bahwa Pancasila adalah seperti agama mungkin
juga dianggap berada di atas agama bagi bangsa Indonesia, sehingga itu
dianggapnya bertentangan dengan keyakinan iman dari agama yang mereka
anut. Padahal semua tokoh agama bangsa ini telah sama-sama menyatakan
hal sama bahwa Pancasila sudah final, begitupun NKRI.
Mereka
selalu berupaya menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang paling agamis
dengan segala busana dan atributnya, sebagai laskar dan pejuang Islam
yang paling berhak berteriak apa saja yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Termasuk mereka mempertontonkan diri dengan arogan
dan dapat menuduh, menghina, memfitnah, dan menghujat seenak dan
sekehendak hati pada apa saja yang tidak mereka sukai; pada Pancasila,
pada presiden, pada simbol-simbol negara, pada pemimpin bangsa, pada
ulama-ulama yang tidak sepaham dengan mereka. Pertanyaannya: Apakah
Pancasila tidak Islami? Apa presiden bukan Islam? Apa simbol-simbol
negara bukan hasil dari pemikiran para ‘founding fathers’ (bapak-bapak pendiri bangsa) beragama Islam
yang lebih Islami serta mampu melihat jauh melampaui jaman mereka
sendiri demi kepentingan bangsa-negara ini yang lebih besar dan utama
daripada kepentingan golongan mereka sendiri dan yang sangat jelas
mereka mumpuni pengetahuannya tentang agama Islam dan memahami multi
bidang pengetahuan, ketimbang kelompok-kelompok yang anti sekarang ini?
Dari situ dapat terlihat bahwa mereka bukan pejuang agamanya, melainkan
preman-preman politik berjubah agama yang kebetulan oleh sejarah mereka
mendapat peluang untuk mengumpulkan kekayaan dari proyek-proyek politis
sesuai pesanan dari aktor-aktor intelektual dengan dana-dana besar dari
produser-produser haus kekuasaan di dalam dan luar negeri. Memangnya
masyarakat cerdas yang melek informasi bisa mereka bodohi? Tidaklah!
Kecuali para pengikut dan pengagum mereka sendiri yang bukan saja gagal
paham, tapi mungkin terlalu gampang untuk ditipu atau mungkin kelewat bodoh.
Dengan getol dan arogannya mereka ejek dan lecehkan Pancasila dengan
plesetan-plesetan yang kebablasan dan sangat tidak etis. Dan cara arogan
yang mereka pertontonkan seenak hati tersebut sama saja dengan mereka
telah menghina para pendiri negara dan bangsa
Indonesia di mana mereka secara tanpa sadar telah mereguk dan menikmati
aliran air kehidupan yang menghidupi mereka dan keturunannya.
Suka tidak suka, mau tidak mau, tahu ataupun tidak, tapi ketahuilah
bahwa Pancasila telah terbukti mampu berperan sebagai perekat yang
sangat kuat dan begitu kokoh dalam menyatukan kebhinnekaan semua anak
bangsa yang lahir dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan
golongan.
Saya kira tak berlebihan, dan tak perlu malu, untuk
mengatakan hal yang bernuansa mistis ini, bahwa Pancasila adalah ‘jimat’
sakti yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai puncak 'mahakarya’
(masterpiece) dari segenap jimat-jimat leluhur yang menyarikan
nilai-nilai luhur yang lahir dan tumbuh dari seluruh persada ibu pertiwi
ini sejak dahulu kala.
Ya, Pancasila adalah jimat sakti
bangsaku, bangsa kita, bangsa Indonesia. Kita sebagai bangsa mesti
bangga karena memiliki pusaka adiluhung ini. Lihatlah keagungan
Pancasila yang mampu mendunia, dikagumi bangsa-bangsa dunia, dan yang
menggembirakan Pancasila mulai menjadi rujukan beberapa pemerintahan dan
bangsa-bangsa di dunia. Sekali lagi, Pancasila telah membuktikan
dirinya tetap sakti!
Penutup
Jujur mesti dikatakan di
sini bahwa banyak kalangan masyarakat yang gemas dan geregetan melihat
kelakuan para radikalis penebar teror, kebencian, intimidasi, dan
persekusi. Bahkan sekarang sudah sangat terlihat bangkitnya lapisan
‘silent majority’ (mayoritas diam) dari tidurnya. Gemas dan geregetan mereka bukan hanya
tertuju kepada saudara sebangsa yang berpaham radikal, namun juga kepada
pemerintah yang terlihat seolah-olah terlalu lembek, takut bertindak,
dan membiarkan.
Bagaimanapun, bagi masyarakat yang mengerti dapat
memahami alasan bahwa pemerintah tentu mempunyai cara dan strateginya
sendiri untuk mengahadapi bentuk-bentuk kejahatan seperti itu. Namun,
sampai kapan alasan seperti itu dapat dijadikan pembenaran pada situasi
genting ataupun darurat yang mengancam keutuhan NKRI tercinta ini?
Mungkin hanya sang waktu yang tahu jawabannya!
Kasus
kriminalisasi terhadap Ahok seakan menjadi lonceng waktu yang berbunyi
keras hingga menyadarkan para ‘silent majority’ pecinta ‘NKRI Harga
Mati’! Lonceng waktu itu menyatakan jangan sampai terlambat karena
bangsa-negara ini sedang sangat prihatin dan bersedih melihat ulah
anak-anak bangsa, saudara-saudara sebangsa kita juga, anak-anak nakal,
yang sedang memainkan permainan berbahaya yang bisa merusak dan
mempermalukan keutuhan keluarga besar bangsa ini di panggung dunia.
Jangan kalah
Ini saatnya pula kami-kami, para warga negara yang menaruh kepedulian
luar biasa terhadap sikon darurat negara-bangsa ini untuk dengan sangat
mengingatkan kepada pemerintah agar perlu mengambil langkah-langkah
‘extraordinary’ (luar biasa) dalam menindak dan membasmi gerakan-gerakan yang
bertujuan mendestabilisasi kerukunan dan toleransi, kemudiannya cepat
atau lambat kemungkinan besar mereka akan menumbangkan pemerintahan sah
dan konstitusional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Hal itu pun telah pemerintah buktikan melalui penangkapan-penangkapan
oleh kepolisian terhadap tokoh-tokoh yang kerap mengadakan rapat-rapat
gelap yang menyusun strategi maker. Itulah sesungguhnya agenda besar
tersembunyi mereka yang, jika telat disikapi dengan tegas dan keras,
akan sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi NKRI
ini.
Bahkan gerakan-gerakan inkonstitusional mereka terus
berimprovisasi. Yang terakhir dan lagi marak terjadi dan diberitakan
secara luas bahwa di mana-mana mereka melakukan gerakan persekusi. Ini
pun sebagai bentuk baru pelecehan terhadap peran negara. Kenapa? Karena
mereka telah terang-terangan merampas atau mengambil dengan paksa peran
negara!Ambil contoh: persekusi misalnya.
Tidakkah pemerintah malu melihat reaksi tandingan dari
masyarakat dengan bermunculan dari berbagai gerakan swakarsa dan swadaya
masyarakat anti-persekusi? Gerakan-gerakan anti-persekusi seperti ini dapat menjadi
sinyal bahaya – jika pemerintah tidak melakukan perannya – akan
menimbulkan benturan langsung, rakyat sesama saudara sebangsa di
lapangan, secara horizontal antara gerakan pro-pemerintah dan
anti-pemerintah: rakyat melawan rakyat. Dan bukan tidak mungkin itu akan
berujung pada perang saudara! Ngeri juga membayangkannya, tapi
kemungkinannya tetap terbuka ke arah itu.
Saatnya, ya saatnya
pemerintah unjuk ketegasan perannya! Pemerintah mesti lakukan operasi penutupan
pintu-pintu masuk illegal dan mendobrak celah-celah persembunyian yang
selama ini telah dimanfaatkan dengan leluasa oleh para radikalis serta
segala bentuk gerakannya yang anti-Pancasila, anti-simbol Negara,
anti-bentuk negara, anti-NKRI, dan anti-pemerintah, anti-toleransi, dan
yang anti segala bentuk dan nilai ke-Indonesia-an bangsa ini. Pemerintah
tidak boleh kalah dan jangan kalah; jangan terhenti dan jangan
terhalang oleh rambu-rambu demokrasi dan HAM; demi menegakkan hukum dan
penertiban serta hak-hak yang lebih utama dan besar demi negara-bangsa yang heterogen ini.
Negara Ada
Oleh sebab itu, mandat rakyat kepada pemerintah mesti ditunjukkan dan
dibuktikan pula kepada rakyat pemberi mandat. Rakyat adalah 'boss'
pemilik kedaulatan; tanpa rakyat negara dan pemerintah pun tak ada!
Kepada pemerintah tempat kami mengadu: Tolong, tunjukkan dan buktikan pada rakyatmu bahwa negara ada; siap mengambil sikap, langkah pasti, serta menunjukkan kembali peran dan tegasnya!!!
Siapa saya? Saya, tentu saja, bagian dari rakyat pecinta NKRI!
Saya Indonesia - Saya Pancasilais!!! Indonesia Rumah Kita - Pancasila Sokoguru Rumah Kita!!!
Salam Pancasila! Salam Bhinneka Tunggal Ika! Salam NKRI!
1 Juni 2017
Mike OscarBaca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar