Foto: Wenri Wanhar/jpnn.com |
Ungkapan di atas adalah bagian dari cuplikan perkataan Bung Karno dalam buku otobiografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", yang ditulis oleh Cindy Adams, penulis berkewarganegaraan Amerika Serikat. Dalam mengenang dan membalas budi para pelacur, bagi Bung Karno mereka para pelacur tersebut adalah bagian dari orang-orang Indonesia yang punya peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketika fotonya dipajang di seluruh bilik kamar pelacuran, dia senang-senang saja. Baginya, pelacur adalah mata-mata terbaik.
Suatu hari pada jam lima sore di Istana Negara, Jakarta. Presiden Soekarno baru saja menyudahi sebuah majalah. Dia lalu olahraga.
"Aku telah siap hendak berjalan-jalan selama setengah jam, seperti biasanya kulakukan dalam lingkungan Istana. Inilah satu-satunya macam gerak badan bagiku," kenang Bung Karno, termuat dalam buku Bung Karno--Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams.
Seorang pejabat polisi mendampinginya. Polisi itu nampak gugup.
"Sambil berjalan, kutanyakan kepadanya, apa yang sedang dipikirkannya," sambung Bung Karno.
Masih tampak gugup, dan berusaha menguasai diri, polisi itu menjawab. "Ya, Pak…sebenarnya kabar baik."
"Apa maksudmu dengan sebenarnya kabar baik?"
Lagi-lagi. Polisi itu berusaha menguasai diri, sebelum akhirnya bercerita panjang lebar.
"Begini, Pak…kita mempunyai suatu daerah, di mana perempuan-perempuan lacur semua ditempatkan secara berurutan. Kami memeriksa daerah itu dalam waktu-waktu tertentu, karena sudah menjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan tetap."
Hening sejenak. Polisi itu melanjutkan ceritanya.
"Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka. Dan Bapak tahu apa yang mereka temui?"
Sebelum masuk ke pokok cerita, polisi itu terlebih dahulu memberi alas pada apa yang akan diceritakannya.
"Sebenarnya kabar baik," katanya. "Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata."
Setelah itu, barulah dia menceritakan bahwa potret Bung Karno banyak bergelantungan di tempat pelacuran.
"Di mana aku digantungkan?" Bung Karno menaruh perhatian.
"Di tiap kamar, Pak. Di tiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja dan tepat di atas meja itu, di situlah gambar Bapak digantungkan."
Bung Karno menyimak. Polisi itu kembali meneruskan.
"Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu?
"Tidak," jawab Bung Karno. "Biarkanlah aku di sana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya!"
Cerita itu disampaikan Presiden Soekarno kepada jurnalis perempuan asal Amerika, Cindy Adams. Dan dari buku yang ditulis Cindy-lah kisah ini dicuplik.
Bung Karno dan Pelacur
Bagi Bung Karno, pelacur punya peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI)--partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia--disikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda menyusul pemberontakan 1926-1927, Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dalam keanggotaan PNI di Bandung, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Bung Karno, terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi sebagai pelacur.
"Mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh," katanya. "Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Aku telah membuktikan di Bandung." Bung Karno mula-mula menugaskan mereka memata-matai anggota PNI sendiri, yang berpotensi menjadi pengkhianat.
Tugas lainnya, menyusup ke penjara. Caranya mudah, ketika terjaring razia, jangan mau bayar denda. Pelacur yang terjaring razia biasanya dikurung 7 hari penjara. Di dalam penjara, informasi penting berseliweran, kata Bung Karno.
Setelah terlatih, barulah mereka memata-matai polisi dan pejabat Belanda. Tak sekadar mendulang informasi penting, adakalanya mereka meracau. Menggoda polisi Belanda saat sedang bersama istrinya.
"Bidadari pilihanku ini harus tersenyum genit kepadanya dan menegur dengan merdu, selamat malam, sambil menyebut nama Belanda itu. Isterinya pasti akan gila," begitu cerita Bung Karno, seperti dituliskan Cindy Adams.
Lebih dari itu, 670 pelacur tersebut ternyata penyumbang dana bagi gerakan PNI.
"Mereka bersemangat menyumbang. Bahkan dalam jumlah besar…perempuan-perempuan lacur adalah satu-satunya di antara kami yang selalu mempunyai uang."
Bagaimana pelacur sebanyak itu, 670 orang bisa jadi kader PNI?
Kerja-kerja pengorganisiran. Bung Karno saat itu masih muda. Mahasiswa THS (kini Institut Teknologi Bandung) itu, mendirikan Partai Nasional Indonesia saat berusia 26 tahun.
Di Bandung, ada lokalisasi legendaris; Saritem. Di zaman kolonial, kabarnya, tiap rumah di lokalisasi yang sudah buka praktek sejak 1838 itu, dipajang perempuan berkebaya. Meski Bung Karno tidak mengulas detail arena pengorganisirannya, boleh ditebak itu kemungkinan Saritem.
Pun demikian Bung Karno mengisahkan, sebelum menjadi kader PNI, enam bulan lamanya mereka dijajaki. Setelah "clear", barulah menjadi anggota. Ideologis.
Dengan keberhasilannya di Bandung, Si Bung berkata, "kalau menghendaki mata-mata yang hebat, berilah aku seorang pelacur yang baik. Mereka sangat baik dalam tugasnya."
Tadi di zaman Belanda. Bagaimana di zaman Jepang?
Ada cerita. Termuat juga dalam buku otobiografi Soekarno yang dituliskan Cindy Adams.
Saat Bung Karno berada di Minangkabau balatentara Jepang mulai mengambil alih kekuasaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagaimana diketahui, pada zaman Jepang tak sedikit perempuan yang diasramakan menjadi pemuas libido serdadu. Ini disebut jugun ianfu.
Perempuan yang akan mereka rusak adalah perempuan-perempuan bangsaku. Termasuk suku Minangkabau yang terkenal taat beragama. Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi menjaga para gadis kita, aku bermaksud memanfaatkan para pelacur di daerah ini.
Begitu disampaikan Bung Karno dalam sebuah diskusi dengan pemuka adat dan agama di Ranah Minang. Pendek kisah, terkumpullah sebanyak 120 pelacur. Mereka pun dengan senang hati mendapat tawaran bekerja di lokalisasi ala Jepang.
Pada bagian lagi buku itu, Bung Karno menceritakan pengalamannya main ke Rumah Geisha di Tokyo, yang digadang-gadang identik dengan semacam rumah pelacuran. Menurut Bung Karno, tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan-makan, bercakap-cakap dan mendengarkan musik.
"Tanpa hiburan-hiburan kecil ini aku akan mati," tandasnya. "Umurku sudah 64 tahun. Menjadi Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua." (*\maxor)
[Tulisan serupa ini tentang cuplikan dari buku otobiografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", yang ditulis oleh Cindy Adams, sebelumnya telah dimuat di jpnn.com]
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar