oleh Priyo Suwarno
(foto net) |
PELAKSANAAN Pilgub di DKI Jakarta
sudah dianggap selesai. Anies Baswedan yang berpasangan Sandiaga Salahuddin Uno
sudah ditetapkan sebagai Gubernur Terpilih dengan mengantongi 57, 95 persen
suara dibanding pasangan petahana Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Saiful
Hidayat yang mendapat dukungan suara 42,05 persen dari masyarakat pemilik hak
suara di Jakarta.
Ibarat gempa, ipicentrum politik di
Jakarta ini menghasilkan gaung dan getaran sangat luas, yang efeknya sampai seluruh
wilayah Indonesia. Tidak berlebihan jika dengungannya menyeruak sampai di empat penjuru benua di bumi ini.
Bahkan sudah mengarah ke badan dunia, PBB.
Pasca Pilgub DKI, masih ada dua luka
menganga yang menjerat bangsa Indonesia. Pertama, gesekan politik dan sosial,
kedua kasus hukumnya belum selesai. Secara politik dan sosial, ongkos yang
ditanggung oleh bangsa Indonesia sangat mahal. Tingkat kemahalannya sungguh tak
terkirakan, yaitu mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia.
(foto net) |
Karena para elite politik di Indonesia
--barangkali penganut Macheavellism—yang begitu tega dan semena-mena memanfaatkan
isu SARA (Suku-Agama-Ras dan Antargolonan) sebagai ‘mother of bomb’ untuk
mematikan lawan politik. Dalam kasus ini boleh beda pendapat, akan tetapi isu
penistaan agama lah sebagai penyebab utama kekalahan Basuki Tjahaya Purnama melawan rivalnya.
Ketika maju, Ahok sapaan Basuki--
dalam berbagai survey politik mempunyai tingkat elektabilitas sampai 78 persen.
Hampir mustahil dikalahkan oleh siapapun. Kini terbukti bahwa isu agama, sangat
mujarab untuk mengalahkan lawan politiknya. Kisah bakal dicopy-paste untuk
pemenangkan pemilu daerah secara serentak.
Ekses dari Pilgub DKI sampai saat
ini pun masih terasa, risiko beratnya adalah ancaman terhadap persatuan dan
kesatuan Negara Indonesia. Kedua, kasus-kasus hukum sebagai rentetan dari
persoalan politik itu juga belum selesai secara tuntas.
Bersyukur limbah politik yang
berujung pada ancaman keamanan negara itu secara pelan-pelan dan sabar bisa
diatasi oleh aparat keamanan, khususnya Kepolisian Republik Indonesia diback-up
oleh TNI. Persoalannya adalah, apakah kemudian itu terhenti dan padam sama
sekali. Tidak!
(foto net) |
Karena, karena beberapa kelompok
elite politik di Indonesia seolah sudah punya rumus jitu untuk memenangkan di
semua pemilu serentak yang akan dilaksanakan 2018 dan 2019 nanti. Disinilah
lembaga, pimpinan dan aparat kepolisian kembali diuji kehebatannya untuk
meredam semua gejolak terhadap ekses ‘pertempuran’ politik yang menjadi agenda
wajib undang-undang itu, untuk melaksanakan Pemilu Serentak.
Menurut undang-undang pula, Indonesia akan melaksanakan pilkada
serentak. KPU memutuskan pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota serentak tahun 2017
pada hari Rabu tanggal 15 Februari 2017.
Total daerah yang akan menyelenggarakan pilkada
berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten.
Daerah tersebut yang akhir masa jabatan kepala daerahnya berakhir bulan Juli
2016 sampai dengan Desember 2017. Sebagai catatan, polisi juga berhasil
memberikan keamanan dan kenyamanan Pilkada serentak ini. Termasuk ketika pilgub
DKI, yang mendapat guncangan politik begitu luas.
Tahun 2018 mendatang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 akan digelar serentak untuk 171 daerah di
Indonesia. Sebanyak 17 di antaranya ada di tingkat provinsi. Ketentuan teknis
untuk Pilkada serentak itu masih menggunakan Peraturan KPU (PKPU) yang
digunakan untuk Pilkada serentak 2017, selama belum ada perubahan.
Gelombang
berikutnya adalah penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilres) juga serentak
bersama Pemilihan Legislatif (Pileg) di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan
betapa sibuk dan berat tata laksanakan pengaman agenda politik yang penuh
intrik dan saling menyerang antar peserta pemilu.
Polisi pasti sudah memetakan skenario pengamanan pemilu
daerah itu menyelenggarakan pemilihan umum. Kini konsentrasi Polri akan dibagi ke
17 pronvinsi, serta 171 kota dan kabupaten. Ketika sistem pilkada masih
parsial, konsentrasi keamanan bisa dibagi-bagi sehingga memudahkan mobilisasi
aparat ketika satu daerah ada ancaman keamanan.
Tantangan berat pengamanan pilkada serentak adalah
mobilisai aparat sulit dilaksanakan, karena karena setiap daerah punya agenda
dan tugas yang sudah dibebankan. Ini semua menyangkut rasio jumlah petugas
dibanding jumlah penduduk.
Persoalannya, menurut Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya
Manusia Irjen Arief Sulistyanto mengatakan, perbandingan jumlah polisi yang
direkrut dan purna tugas mengalami "zero growth". Jumlah yang pensiun
tak jauh berbeda dengan personel baru, sementara jumlah penduduk Indonesia terua
bertambah.
Idealnya jumlah polisi dibandingkan masyarakat 1:350, namun
faktanya di Indonesia sekarang ini perbandingannya saat ini sekitar 1:750.
Arief mengatakan, jumlah polisi di setiap satuan wilayah tidak merata. Ada
Polda yang jumlah personilnya cukup, ada yang wilayahnya justru kekurangan
polisi. Dengan demikian, dikhawatirkan tak semua permasalahan di setiap daerah
bisa diselesaikan polisi.
Sebaliknya Kapolri Jenderal Tito Karnavian punya sudut
pandang berbeda, menurut dia jumlah personel polisi Indonesia terbesar nomor
dua di dunia setelah China. Kata Kapolri, saat ini jumlah anggotanya di
Indonesia sebanyak 430.000 personel. Pernyataan disampaikan ketika member
sambutan Pertemuan Interpol di Bali, 7-10 November 2016.
Di tengah-tengah keterbatasan jumlah personel bahkan
mungkin juga budget, Polri tetap optimistis mampu mengendalikan pengamanan
pelaksanaan Pilkada Serentak. Untuk membuktikan bahwa lembaga kepolisian
beserta seluruh pimpinan dan aparatur di bawah benar-benar netral dalam pemilu.
Kita semua yakin kehebatan pola pengamanan ini akan semakin
mantap, manakala seluruh warga masyarakat dan bangsa Indonesia memberikan
kontribusi untuk terus bersama polri memberikan rasa sejuk dan menjaga
kondusifitas wilayahnya masing-masing. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar