April 18, 2017

LBH Jakarta Nyatakan Sikap: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Korban Para Pendusta

KABARKALTIM.Co.Id - Pernyataan ini mulai beredar luas di media sosial. Tentu pernyataan sikap ini semakin memperjelas bahwa Ahok adalah korban dari para pendusta dalam kasus yang dialamatkan pada dirinya.

Dilansir dari seword dikatakan; motif dari para pendusta tak lain adalah memojokkan Ahok untuk diadili demi kepentingan politik. Cara paling jitu untuk menghentikah Ahok yang begitu disenangi karena hasil kerjanya yang memuaskan adalah membenturkan Ahok dengan umat Islam. Tetapi bersyukur masih banyak yang mau berpikir jernih dan tidak mau terprovokasi atas hal ini.

Menjelang berakhirya kampanye putaran kedua, tak disangka dukungan hati nurani dari masyarakat terus mengalir atasnya. Salah satunya melalui satu Lembaga Bantuan Hukum.

Tentu ini dapat menjernihkan pikiran pemilih yang selama ini dibohongi dengan isu Ahok melakukan penistaan agama.

Berikut isi pernyataan sikap LBH Jakarta terkait kasus penodaan agama yang dialamatkan pada dirinya:
.......


 
Pernyataan Sikap LBH Jakarta
Nomor: 542/SK/LBH/IV/2017

Pasal Penodaan Agama Sebagai Alat Kriminalisasi dalam Kontestasi Politik Pilkada DKI Jakarta

15/4/2017 – LBH Jakarta, bertempat di gedung LBH Jakarta meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam kasus tuduhan Penodaan Agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Direktur LBH Jakarta -Alghiffari Aqsa- menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama dalam hal ini telah menjadi korban dari penggunaan pasal anti demokrasi (baca: Pasal 156a KUHP, pasal penodaan agama) di masa-masa Pilkada yang seharusnya demokratis.

Hal ini adalah sebuah ironi namun nyata, karena negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI masih belum mentaati rekomendasi dari putusan MK dalam Uji Materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama.

Pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (27/09/16) sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al-Quran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik. Pernyataan Ahok tersebut pun tidak memenuhi itikad buruk/evil mind/mens rea yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Pernyataan Ahok dalam hal ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E Konstitusi, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok dimana pihak ketiga ini sendiri tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut. Sehingga memunculkan gerakkan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.

Tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal Penodaan Agama merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakkan hukum – supremacy of law. Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti ini sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan Pasal Penodaan Agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut. Dan hari ini kita masih berada di titik yang sama dimana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa. Mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini. 

Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakkan hukum, demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat.

“Di atas segalanya LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan anti demokrasi dan inkonstitusional” di iklim demokrasi Indonesia hari ini terlebih di proses Pilkada kota DKI Jakarta,” ujar Yunita Kadiv Advokasi LBH Jakarta. LBH Jakarta sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan ini, namun pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya.

Berdasarkan Amicus Curiae yang Kami berikan, selanjutnya dapat Kami menyampiakan 4 Rekomendasi kepada Majelis Hakim pada perkara Ahok sebagai berikut:

1) Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.
2) Agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.
3) Agar Majelis Hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal dengan sanksi pidana; dan (2) Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;
4) Agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

Dan selain itu LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti demokrasi dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP, karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia.

Jakarta, 15 April 2017

Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM Jakarta

Narahubung:

Alghiffari Aqsa (081280666410)
Yunita (08999000627)
Pratiwi Febry (081387400670)
.......

Pernyataan ini dapat membantu masyarakat untuk sadar bahwa Ahok adalah orang yang ingin dikorbankan para pendusta. Mereka tahu bahwa memanfaatkan kemarahan umat dengan isu agama adalah yang paling mudah. Untuk itu, berbagai cara pun disusun.

Akhirnya Ahok pun sempat dimusuhi banyak umat. Namun bersyukurnya bangsa ini sudah semakin cerdas dalam berpolitik sehingga tidak gampang lagi dibodohi.

Pernyataan sikap ini telah memberikan perspektif hukum yang kuat bahwa Ahok adalah korban. Tidak ada alasan lain selain karena motif politik dari mereka yang ingin menghabisi Ahok.

Pernyataan sikap ini dapat membantu mereka yang ragu akan Ahok menjadi tersadar. Dan bangsa ini tidak mengalami satu kerugian besar dimana seorang putera terbaik bangsa tidak menjadi korban keji karena politisasi agama. [*\maxor]
Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM