KABARKALTIM.Co.Id. - Bangsa Indonesia diingatkan bahaya gerakan
radikalisme. Gerakan ini dinilai sangat berpotensi membawa Indonesia
menjadi negara agama. Kondisi yang dihadapi saat ini diperparah oleh
sikap pragmatis sejumlah politisi, yang justru dekat dan memanfaatkan
kelompok radikal untuk mewujudkan tujuan pragmatis mereka, yakni merebut
kekuasaan.
Untuk itu, seluruh elemen bangsa perlu menyadari bahwa Indonesia
bukanlah negara agama. Para pendiri bangsa menyepakati Indonesia sebagai
negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif saat berbicara dalam seminar dan lokakarya bertema "Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama", di Jakarta, Sabtu (8/4). |
Demikian penegasan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah,
Ahmad Syafii Maarif, dalam
seminar dan lokakarya (semiloka) bertema
“Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila versus Negara Agama”, di
Jakarta, Sabtu (8/4) pagi.
Menurut Buya Syafii, kondisi saat ini tak bisa terlepas dari masih
adanya kesenjangan sosial di Tanah Air dan dunia. Manakala kesenjangan
makin berjarak, muncul ideologi yang disebutnya Arabisme sesat jalan.
“Ideologi ini seperti ISIS (gerakan negara Islam Irak dan Suriah atau
yang juga dikenal gerakan negara Islam atau Islamic States/IS). Ini yang bisa membuat Indonesia sebagai negara dengan dasar Pancasila, bisa menuju menjadi negara agama.
“Lelah sebenarnya kalau negara kita yang sehebat ini, sebesar ini,
tetapi terpecah. Apalagi, sesama Muslim saling hujat. Coba saudara
bayangkan, Suriah sudah hancur, Irak, Libia, Mesir juga tidak karuan,”
tandasnya.
Seandainya Pancasila secara masif diamalkan, menurut Buya, tidak ada
lagi persoalan kesenjangan yang mengakibatkan suburnya paham radikalisme
di Tanah Air. Hal ini sekaligus menjauhkan Indonesia dari kehancuran,
sebagaimana terjadi di sejumlah negara Islam di Timur Tengah.
Sikap Politisi
Syafii menyayangkan situasi
kebangsaan justru diperparah dengan sikap dan perilaku politisi. Dia
menegaskan, politis tidak bisa diharapkan ikut mengatasi ancaman ini.
Menurutnya, ada sejumlah politisi yang dekat dan memanfaatkan gerakan
radikalisme untuk mewujudkan kepentingan pragmatis mereka. “Cara
berpikir mereka sebagian besar masih sangat pragmatis atau bahkan
berteman dengan radikalisme,” ungkapnya.
Untuk itu, dia mengajak seluruh elemen bangsa bersatu melawan
radikalisme. Perjuangan ini bisa dilakukan dengan mengamalkan Pancasila
sepenuhnya.
Di sisi lain, dia juga meminta Polri agar tidak kalah oleh kehadiran
kelompok-kelompok radikal, yang sejatinya jumlahnya tidak banyak. “Saya
beberapa kali kirim SMS ke Kapolri, negara tidak boleh kalah. Saya
katakan, keluhan di semua negara Islam itu silent majority.
Kita masih jauh dari Suriah, tetapi kalau tidak hati-hati bisa terjadi.
Sekarang ada kelompok sempalan yang tidak mendukung Pancasila
(jumlahnya) cuma kecil. Jadi, polisi dan tentara harus jeli melihatnya.
Kalau politisi yang di Senayan, ini agak sulit,” ujarnya.
Dalam pandangan Syafii, selama lebih 70 tahun Indonesia merdeka,
kesenjangan sosial dan ekonomi justru semakin tajam. Hal ini sebagai
konsekuensi lemahnya pengamalan sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebaliknya, pragmatisme semakin merajai
dalam setiap elemen masyarakat.
“Sekarang sudah 70 tahun kita merdeka. Kesenjangan sosial dan ekonomi
kita semakin tajam. Pancasila yang teratas Ketuhanan yang Maha Esa.
Sila kelima Keadilan Sosial. Itu sudah luar biasa. Tetapi itu masih
menggantung di awan, terutama sila kelima. Dalam kenyataan rakyat kita
masih bergumul dengan berbagai persoalan,” ujarnya lagi.
Untuk itu, lanjutnya, kunci mengatasi berbagai masalah kebangsaan
adalah pengamalan Pancasila, terutama sila kelima. Hal ini mengingat
persoalan di Tanah Air muncul karena adanya kesenjangan.
“Jujur atau tidak kita membela bangsa ini? Sungguh atau tidak kita
membela negara ini? Jangan dibuat-buat, harus datang dari dalam hati.
Jangan memakai topeng lagi. Topeng itu berkeliaran di mana-mana. Mereka
seolah bagian dari masyarakat kita, namun sangat merusak suasana
kebangsaan kita,” tandasnya.
Pendidikan Pancasila
Secara terpisah, Ketua PB
Nahdlatul Ulama (NU) Marsudi Syuhud menjelaskan, ada tiga model relasi
antara agama dan negara. Pertama, model pemisahan antara agama dan
negara, seperti yang dijalankan di Amerika Serikat. Kedua, model negara
yang menyatu dengan agama seperti yang terjadi di Timur Tengah. Ketiga,
model tengah, seperti yang terjadi di Indonesia.
“Indonesia didirikan oleh pejuang bangsa yang disepakati dengan
nilai-nilai universal agama, lantas diturunkan menjadi kultur budaya,
kemudian diangkat menjadi dasar negara yaitu Pancasila. Ini berbeda
dengan yang di Timur Tengah, di mana negaranya saja sudah menunjukkan
agama,” jelasnya.
Menurutnya, adanya gerakan yang masif untuk membentuk negara agama,
karena mereka tidak memahami Pancasila. Untuk itu, perlu ada edukasi
agar paham Pancasila dihidupkan kembali.
“Anak sekolah harus ada pelajaran pendidikan Pancasila. Ini yang
harus dihidupkan kembali paham dasar negara pada generasi bangsa,”
jelasnya.
Mantan Sekjen PBNU ini juga menegaskan, pihaknya akan meminta
pemerintah untuk membuat anggaran khusus untuk mengedukasi kembali paham
Pancasila. “Kita harus memulai dari sekarang, daripada rusak seperti
Timur Tengah,” ujarnya.
Dia mengingatkan, banyak aturan hukum yang sejatinya turunan dari
ajaran agama. “Ajaran agama ini sejatinya yang menjiwai sebuah aturan
perundangan. Misalnya, korupsi itu dilarang dalam agama apapun. Jadi ini
semangatnya sudah benar. Lalu untuk apa lagi menuntut negara agama,”
tandasnya.
Sumber: Suara Pembaruan
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar