Oleh: Rhenald Kasali
KABARKALTIM.Co.Id, Balikpapan - Menyaksikan tayangan Earth 2050 yang diputar oleh saluran televisi BBC
membuat saya senyum-senyum.
Bukannya apa-apa, ketika para scientist di berbagai belahan dunia tengah
membawa “hari esok” (The Future) ke “hari ini” (The Present),
kita banyak menemukan pemimpin, politisi, birokrat, bahkan juga pengusaha dan
eksekutif yang masih membawa logika “masa lalu” (The Past) ke dalam pijakan “hari ini” (The
Present).
Tengok saja aturan-aturan yang berbelit-belit, cara pandang mereka dalam
memberantas korupsi, penanganan UMKM, kampanye-kampanye politik yang mereka
lakukan, kata-kata yang mereka ucapkan dalam berbagai spanduk dan video yang
kita saksikan dalam kanal YouTube, cara penanganan banjir, metode-metode dalam
pertanian, sampai ekspor-impor dan kebijakan di sektor keuangan. Begitulah paparan awal dari
tulisan Rhenald Kasali yang menguak secara kritis tentang “Ancaman
Disruption bagi Indonesia” sebagaimana dilansir oleh Kompas, Jumat, 24 Maret 2017.
Ketika anak-anak muda sudah berbicara start-up, mereka masih menyatakannya
sebagai UMKM. Kita praktis hanya berkutat hari ini untuk hari ini. Bahkan
terbelenggu oleh kebiasaan dan cara pandang kemarin untuk solusi hari ini.
Dunia Sudah Berubah
Melalui tayangan Earth 2050 tadi saya mulai paham apa yang tengah dikerjakan
para ilmuwan di seluruh dunia. Ketika mereka sudah memasuki dunia dengan
penilaian “impact” (apa yang telah kamu hasilkan dan berdampak pada
kehidupan), ilmuwan-ilmuwan kampus kita baru saja belajar menulis karya ilmiah
agar dimuat dalam jurnal internasional dan di sitasi via Scopus.
Teman-teman PhD saya yang bergelut dalam aneka riset di Jepang, Inggris,
Rusia dan Amerika Serikat hanya bisa tersenyum saja ketika ditanyakan karya
ilmiahnya. Mereka lebih senang menunjukkan hak paten karyanya ketimbang paper
yang dulu dibanggakan oleh profesor kami pada tahun 1990-an.
Seorang ilmuwan menunjukkan karyanya berupa “apartemen” kebun holtikultura
sayuran di tengah-tengah kota New York. Sepintas saya melihat kebun-kebunnya
tidak layak. Maklum itu berada di tengah-tengah lokasi area industri.
Namun begitu saya memasuki bangunan serupa gudang pabrik di tengah-tengah
kota itu, saya menyaksikan sebuah perkebunan sayuran yang berlapis-lapis ke
atas, membentuk rak-rak yang sangat efisien. Di dalam setiap rak terdapat
ribuan tanaman dari satu jenis sayuran yang tumbuh subur. Tak ada hama
pengganggu. Namun ada sinar UV aneka warna, aliran air, dan sejumlah perangkat
IT.
Bayangkan, ketika petani kita masih bergulat di daerah pegunungan dengan
akses yang rumit dan ongkos angkut yang mahal yang membuat mereka miskin
turun-temurun, petani-petani terdidik baru muncul di tengah-tengah kota. Mereka
melakukan disruption pangan besar-besaran. Itulah smart vertical agriculture.
Di tempat yang lain saya bertemu para ahli IT yang tengah bekerjasama dengan
lembaga kepolisian untuk memetakan kejahatan-kejahatan yang akan terjadi di
masa depan. Mereka bahkan sudah memiliki data sampai ke tanggal, hari, jam dan
lokasi kejadian.
Segala veriabel, mulai dari cuaca, pendapatan per kapita, lapangan
pekerjaan, sampai nafsu libido manusia, mereka masukkan ke dalam big data yang
diolah untuk memprediksi kejahatan.
“Yang
paling penting bukan kapan akan terjadi dan berapa besar kerusakannya,
melainkan bagaimana kami mencegahnya,” ujar teman kuliah saya dulu, yang kini menjadi guru besar di Amerika
Serikat.
Kini, saya ingin mengajak Anda melihat apa yang dilakukan oleh para
eksekutif dalam dunia bisnis. Ini menjadi menarik karena atas undangan sebuah
bank besar yang memiliki kantor pengendali di Singapura, kemarin saya
menghadiri seminar tentang disruption di negara kota itu yang diikuti para
eksekutif Asia.
Beberapa kali saya melihat asisten-asisten saya menggeleng-gelengkan kepala.
”Gila, mereka sudah sejauh itu
meng-eksplore dunia dan membuat hal-hal baru!”
Dalam presentasi-presentasi itu kami melihat dan mendengarkan hal-hal baru
yang sedang dikerjakan dalam industri transportasi, konstruksi, pendidikan,
industri, bahkan juga mainan anak-anak, logistik, trade, sampai ke retail dan
pangan. Semua itu adalah “disruption” yang mengubah sejarah
dan persaingan usaha yang kita hadapi hari ini.
Mereka menyebut nama-nama kota di Indonesia, mulai dari Surabaya, Balikpapan, Manado, Ambon, sampai ke
Sorong. Kota-kota yang bahkan belum banyak dikunjungi para sarjana dan
mahasiswa kita, ternyata telah dijadikan pasar oleh mereka.
Lantas apa yang dilakukan eksekutif-eksekutif, aparatur-aparatur sipil
negara dan pemangku-pemangku kepentingan di negeri kita?
The Past - The Present - The Future
Vijay Govindarajan, ilmuwan asal India mengingatkan saya bahwa dalam
menjalankan kehidupan, manusia memiliki 3 sudut pandang yang beragam: The Past,
The Present dan The Future.
Kami pun merumuskan sebuah pelatihan yang kami sebut sebagai "Reformulasi
Strategi dalam era Disruption". Dan minggu-minggu ini area kerja
saya di Rumah Perubahan tengah ramai dikunjungi para eksekutif yang sedang
membongkar strateginya. Apakah itu untuk menyusun rencana strategis (renstra)
atau sekadar meremajakan RKAP.
Dan begitu kami buka, banyak eksekutif dan CEO yang tiba-tiba menyadari
hampir 100 persen karya yang sedang mereka kerjakan sudah benar-bemar
ketinggalan zaman. Mereka meyakini telah “menjalankan strategi yang hanya cocok
dijalankan di masa lalu”. Dan itu pasti akan menjadikan mereka sebagai
korban dari bencana disruption.
“It
was over,” ujar seorang putera mahkota dari sebuah usaha konglomerasi. “Itu
hanya cocok di zaman papa,” ujarnya berterus terang di hadapan ayahnya
sambil tertawa, yang juga hadir dalam ruangan itu.
Vijay mengingatkan saya tentang tiga dewa yang dikenal dalam keyakinan yang
dianutnya di India. Dewa Wisnu, Shiwa dan Brahma. Ini mengingatkan saya pada
sebuah upacara di Puri Ubud, tempat kerabat kami tinggal dan biasa saya
kunjungi.
Biasanya, saya ditemani oleh keluarga Bali lainnya yang lalu menjadi tempat
upacara pernikahan kami di sebuah desa di Sibangkaja, dekat Desa Mambal. Jadi
yang satu adalah keluarga raja (Puri Ubud) dan ratunya adalah Keluarga Pendoa
(Griya Anyar – Sibangkaja).
Dalam kepercayaan Hindu itu, Wisnu dikenal sebagai dewa pemelihara. Shiwa
adalah dewa perusak, sedangkan Brahma adalah Sang Pencipta.
Vijay mengungkapkan corporate strategi sebagai gabungan dari ketiganya.
“Seperti Dewa Shiwa, eksekutif jangan takut menghancurkan segala hal yang hanya
relevan di masa lalu,” ujarnya. Maksudnya, secara selektif kita perlu
menghancurkan metode, alat, teknologi, pendekatan, bahkan tata nilai yang sudah
tidak membuat kita produktif lagi.”
“Lalu seperti prinsip Dewa Wisnu, kita wajib merawat yang masih relevan, the
existing core. Dan seperti prinsip Dewa Brahma, perusahaan juga harus punya
orang-orang berkualitas yang menciptakan masa depan baru,” tambahnya.
Masalahnya, masa depan baru itu tak bisa dihasilkan sebelum kita benar-benar
bisa membaca hal-hal baru itu dengan secara selektif membuang hal-hal yang
sudah tidak relevan lagi. Kedua, eksekutif biasanya sudah terbelenggu dalam “zona
nyaman” dengan hanya berani menjalankan hal-hal yang sudah ia kenal di
masa lalu.
Keluar dari zona nyaman itu “butuh keberanian”. Mengapa eksekutif
senang menjalankan kebiasaan dalam zona nyaman? Jawabnya adalah karena hanya
itulah yang ia kenal secara familiar. Sedangkan menapaki masa depan baru,
sungguh tidak nyaman karena serba tidak pasti, tidak jelas, dan belum
terbentuk. It’s unclear, unsettle and uncertain!
Padahal bagi pesaing-pesaing baru Anda, segala hal yang harusnya berada di
hari esok, telah dibawa ke hari ini. Dan dengan gagah berani mereka menjelajahi
ketidakpastian yang tidak clear itu. Dan strategi baru di era disruption adalah
bertarung di era itu, tetapi tidak di hari esok.
Memangnya Anda sudah siap? Jawabannya kita harus siap!
Keterangan:
Rhenald Kasali*
adalah akademisi, praktisi bisnis, dan juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen
di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah ditulisnya,
antara lain: Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode
Your Change DNA (2007).
[/maxor]
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar