oleh jurnalis senior : priyo suwarno
Priyo Suwarno |
PRIBADI atau lembaga yang kuat itu
hanya bisa diukur dari seberapa besar ujian yang pernah dialami dan seberapa
banyak yang sudah berhasil dilewati secara baik. Demikian pula dengan lembaga
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sejak berdiri mempersembahkan pengabdiannya untuk rakyat dan Bhayangkari Negara, sudah berkali-kali
menghadapi ujian begitu berat.
Sifat lembaga ini adalah
menghadapi semua persoalan masyarakat dari kelas paling bawah hingga paling
tinggi. Ibaratnya Polisi itu punya tugas seperti TPA (tempat pembuanghan sampah
akhir). Semua yang buruk busuk, menyebalkan, penuh tantangan dan selalu ada
rintangan semua bertumpu di pundak polisi, maaf bukan politisi.
Kebetulan akhir tahun 2016 pindah
ke 2017 mulai Oktober 2016, hingga Maret 2017 ini ujian yang dihadapi polisi
benar-benar mencapai puncaknya dan semua bersentuhkan dengan keamanan dan
ancaman terhadap NKRI.
Ujian apa yang paling berat saat
ini? Tidak lain adalah aksi massa Bela Islam yang bergerak secara nasional
sebagai reaksi atas pernyataan gubernur
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang mengeluarkan
pernyataaan yang dianggap menistakan agama dalam kunjungan kerjanya ke Kepulauan
Seribu.
Anggal 27 September 2016, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melakukan kunjungan
kerja ke pulau Pramuka yang berlokasi di Kepulauan Seribu.
Kunjungan ini dilakukan untuk melakukan peninjauan serta pengarahan terkait
program pemberdayaan budi daya ikan kerapu yang ia adakan.
Dalam pernyataannya Basuki berusaha meyakinkan warga bahwa
programnya akan terus berjalan meski ia tidak terpilih sebagai Gubernur pada
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan berlangsung pada Februari 2017.
Sebagaimana kebiasaan dalam rapat dan kunjungan kerja, video aktivitas Basuki ini
pun diunggah melalui akun Youtube pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada 6 Oktober 2016, seorang netizen bernama Buni Yani
mengunggah ulang di halaman Facebooknya kutipan video yang berjudul 'Penistaan Terhadap Agama?' Video ini
merupakan editan dari video kunjungan kerja Basuki dengan lebih menonjolkan
pernyataan yang mengandung unsur penistaan terhadap agama Islam.
Video ini akhirnya ditonton oleh banyak orang dan menyulut
emosi umat Islam yang
tidak sudi kitab suci dan ulamanya dihina. Sebagai respon dari video ini,
banyak dari ormas Islam di penjuru Indonesia mengirimkan pengaduan kepada
kepolisian agar segera menindak lanjuti pernyataan Basuki tersebut.
Pada 10 Oktober 2016, Basuki meminta maaf kepada publik
karena merasa telah menimbulkan kegaduhan. Beberapa tokoh Islam menyatakan
menerima pernyataan maaf yang ia ajukan namun menambahkan bahwa proses hukum harus
tetap berjalan. Belum ada pemberitaan tentang penyelidikan mengesankan bahwa
kepolisian Republik Indonesia lamban dalam menangani kasus Basuki.
Aksi Bela Islam I
Pada 14 Oktober 2016, seusai shalat Jumat, ribuan ormas
Islam yang dikomandoi oleh FPI melakukan aksi unjuk rasa di depan
Balai Kota DKI Jakarta. Dalam aksinya, mereka menuntut agar penyelidikan atas
kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama segera dilakukan.
Habib Rizieq Shihab yang juga pimpinan FPI
mengecam akan melakukan aksi yang lebih besar jika tidak kunjung merespon kasus
ini dalam 3 Minggu berikutnya.
Berbagai macam respon muncul menanggapi unjuk rasa ini,
mulai dari yang mendukung sampai yang kontra. Basuki sendiri menyoroti
kerusakan taman yang dinyatakan akibat ulah para pengunjuk rasa.
Aksi Bela Islam II
Proses penyelidikan yang dianggap berjalan sangat lamban
membuat ormas Islam kembali menghimpun massa dalam jumlah yang lebih besar.
Berbagai pesan disebarkan melalui media sosial untuk mengundang masyarakat
hadir dan turut serta dalam unjuk rasa Aksi Bela Islam II yang nantinya lebih
dikenal dengan 'Aksi 4 November'
atau 'Aksi Damai 411'.
Pada awal November 2016, para pengunjuk rasa yang berasal
dari luar daerah mulai berduyun-duyun datang menuju DKI Jakarta untuk
menghadiri aksi ini.
Pada 4 November 2016, aksi unjuk rasa ini kembali diadakan
dengan jumlah massa yang sangat besar sekitar ratusan ribu orang. Aksi ini
dimulai usai shalat Jumat dan menjadikan posisi di depan Istana
Negara sebagai pusatnya. Kali ini para pengunjuk rasa berusaha
agar tidak melakukan pengrusakan dan menjaga kebersihan agar tidak dikritik
sebagaimana demo sebelumnya.
Selain di Jakarta, aksi serupa juga diadakan di beberapa
kota lainnya di Indonesia. Di Jakarta, perwakilan dari pengunjuk rasa diberikan
kesempatan untuk bertemu dengan Menkopolhukam, Wiranto dan
Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla untuk mendiskusikan
jalan keluar terkait kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki.
Pengunjuk rasa juga menuntut untuk bertemu dengan Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo dan meminta agar
Presiden tidak mengintervensi penyelidikan kasus ini. Pada saat itu, Presiden
sendiri sedang tidak berada di istana negara dengan alasan kunjungan untuk
meninjau pembangunan stasiun kereta api di bandara Soekarno-Hatta.
Kericuhan
Aparat meminta para pengunjuk rasa agar dapat membubarkan
diri pada pukul 18.00 WIB sesuai dengan aturan yang berlaku,
namun para pengunjuk rasa bersikeras untuk tetap bertahan sampai tuntutan
mereka dipenuhi. Sehingga puncaknya seusai kumandang adzan Isya, suasana
memanas. Di dekat barikade polisi, sekelompok massa yang dihasut oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab mulai melakukan penyerangan kepada para aparat
yang berjaga. Para pendemo lainnya berusaha untuk menghadang kelompok yang
ricuh, namun terpaksa berhenti karena jumlah mereka lebih sedikit.
Untuk menstabilkan kondisi pihak keamanan mulai menembakkan
gas air mata kepada para pengunjuk rasa. Kondisi mulai kacau, para pengunjuk
rasa mulai berlarian agar terhindar dari gas. Beberapa diantara pengunjuk rasa
dan pihak keamanan mulai dilarikan dengan mobil ambulans untuk mendapatkan
pertolongan lebih lanjut.
Kapolri, Jenderal Polisi Tito
Karnavian dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot
Nurmantyo memerintahkan anak buahnya untuk berhenti melemparkan gas
air mata, namun perintah mereka berdua kurang mendapatkan respon dari aparat
yang berjaga. Beberapa oknum juga melakukan pembakaran terhadap mobil
kepolisian yang diparkir di sekitar lokasi unjuk rasa. Akibat dari kericuhan
ini, seorang pengunjuk rasa meninggal dunia akibat tidak tahan menghirup gas
air mata.
Sekitar pukul 21.00 WIB, kondisi mulai kembali stabil. Massa
mulai membubarkan diri, sebagian menuju ke masjid
Istiqlal sedangkan sebagian lainnya menuju gedung DPR,
sebagaimana janji beberapa anggota dewan seperti Fadli
Zon dan Fachri
Hamzah yang memperbolehkan pengunjuk rasa menggunakan gedung DPR
untuk menginap. Namun ketika sampai di depan pintu gerbang, mereka justru tidak
diperbolehkan masuk oleh pihak keamanan DPR sehingga para pengunjuk rasa
terpaksa bertahan di depan gerbang dan memblokir jalan.
Respon Pemerintah
Tepat tengah malam tanggal 5 November 2016 pukul 00.00 WIB,
Presiden Joko Widodo mengadakan konferensi pers di istana negara dan menyatakan
sikapnya terkait kasus penistaan agama atas Basuki Tjahaja Purnama. Ia bersama
kepolisian berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dalam waktu yang cepat dan
juga secara transparan mungkin. Ia juga menambahkan bahwa ada aktor politik
yang bermain sehingga menimbulkan kericuhan pada aksi kali ini.
Penyelidikan mulai intensif dilakukan dengan memanggil saksi
dari para pelapor dan pihak terlapor. Pada 15 November 2016, dilakukan gelar
perkara secara terbuka terbatas untuk menentukan status hukum bagi Basuki
Tjahaja Purnama.
Tanggal 16 November 2016, kepolisian menetapkan Basuki
sebagai tersangka kasus penistaan agama. Namun berdasarkan sejumlah
pertimbangan, diputuskan bahwa Basuki tidak ditahan di penjara, hanya paspornya
ditahan sehingga tidak bisa ke luar negeri. Hal ini membuat geram sejumlah
pihak.
Perang Opini di Media
Sebagaimana aksi sebelumnya, unjuk rasa kali ini mendapatkan
respon beragam di media tidak hanya nasional namun juga internasional. [17]
Beberapa media seperti ABC bahkan mewawancarai Basuki terkait kasus yang
menimpa dirinya.
Dalam wawancara tersebut Basuki malah menuding para pendemo
mendapatkan upah sebesar Rp. 500.000 untuk hadir dalam aksi tersebut. Hal ini
menimbulkan persoalan baru karena banyak kalangan terutama para pendemo tidak
terima terhadap tuduhan yang dilontarkan Basuki. Di media sosial sendiri,
terjadi adu argumen yang lebih hebat antara mereka yang mendukung aksi dan
mereka yang mendukung Ahok.
Tanggal 19 November 2016, beberapa kelompok mengadakan
parade Bhinneka Tunggal Ika di Jakarta. Parade ini diikuti oleh ribuan orang
dari berbagai macam kalangan dan agama dengan tujuan mengingatkan kembali
hakikat berbangsa dan mengajak masyarakat agar membebaskan diri dari isu SARA yang
sedang berkembang. Banyak dari kalangan yang menanggapi parade ini sebagai
unjuk rasa tandingan dari Aksi Bela Islam II meskipun panitia pelaksana
menegaskan tidak terkait aksi tersebut.
Aksi Bela Islam III
GNPF MUI selaku penyelenggara Aksi Bela Islam II
mengungkapkan akan mengadakan kembali aksi serupa pada tanggal 2 Desember 2016.
Habib Rizieq menyampaikan bahwa aksi ini akan berlangsung dengan super damai
karena diadakan dalam bentuk ibadah bersama.
Pernyataan ini mendapatkan tanggapan beragam. Ketua DPR RI, Ade
Komaruddin memilih untuk tidak menanggapi aksi tersebut dan meminta
wartawan untuk bertanya langsung kepada para penyelenggara. Pihak pelaksana
aksi menyebutnya sebagai puncak aksi dengan jumlah peserta mencapai jutaan
manusia yang dating dari berbagai peslok Indonesia.
Sedangkan Kapolri, Tito Karnavian mengancam tidak akan
mengeluarkan izin untuk aksi tersebut karena khawatir akan ditunggangi. Setelah
terjadi kesepakatan antara pihak penyelenggara dan kepolisian, maka aksi ini
dapat berlangsung dengan kegiatan yang berupa berdoa dan melakukan salat Jumat
bersama. Presiden Joko Widodo hadir dalam acara ini
dan disambut hangat oleh para peserta aksi.
Aksi
Bela Islam IV
Aksi pun bersambung jilid IV, Ketua Dewan
Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI)
Habib Rizieq Shihab menegaskan tidak akan ada lagi Aksi Bela Islam jilid 4,
tapi yang ada adalah revolusi, bila tersangka kasus dugaan penistaan agama
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dibebaskan.
Pernyataan tersebut disampaikan Rizieq dalam video yang diunggah akun Aksi Bela Islam III di Youtube pada Minggu (4/12/2016). Dia bicara soal evaluasi aksi Jumat 2 Desember 2016 lalu di markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta Pusat, Minggu.
Rizieq mengatakan, ada yang bertanya kepadanya sampai kapan Aksi Bela Islam berakhir. "Saya bilang kalau orang Betawi punya filosofi, kalau anak salah kasih nasihat sekali enggak ngerti, kasih yang kedua. Enggak ngerti kasih yang ketiga. Masih dilanggar ya tempeleng. Paham enggak? Orang Betawi begitu," ucapnya.
Rizieq berharap Aksi Bela Islam III pada 2 Desember kemarin jadi yang terakhir. Dia juga berharap Ahok divonis bersalah di pengadilan. Jika itu tidak terwujud, Rizieq menyatakan tidak ada lagi Aksi Bela Islam IV.
"Kalau aksi bela 1 enggak mempan, dua enggak mempan, tiga enggak mempan, enggak boleh ada aksi Islam keempat, yang ada revolusi. Takbir! Setuju? Takbir! Siap masuk sorga! takbir!," kata Rizieq.
Pernyataan tersebut disampaikan Rizieq dalam video yang diunggah akun Aksi Bela Islam III di Youtube pada Minggu (4/12/2016). Dia bicara soal evaluasi aksi Jumat 2 Desember 2016 lalu di markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta Pusat, Minggu.
Rizieq mengatakan, ada yang bertanya kepadanya sampai kapan Aksi Bela Islam berakhir. "Saya bilang kalau orang Betawi punya filosofi, kalau anak salah kasih nasihat sekali enggak ngerti, kasih yang kedua. Enggak ngerti kasih yang ketiga. Masih dilanggar ya tempeleng. Paham enggak? Orang Betawi begitu," ucapnya.
Rizieq berharap Aksi Bela Islam III pada 2 Desember kemarin jadi yang terakhir. Dia juga berharap Ahok divonis bersalah di pengadilan. Jika itu tidak terwujud, Rizieq menyatakan tidak ada lagi Aksi Bela Islam IV.
"Kalau aksi bela 1 enggak mempan, dua enggak mempan, tiga enggak mempan, enggak boleh ada aksi Islam keempat, yang ada revolusi. Takbir! Setuju? Takbir! Siap masuk sorga! takbir!," kata Rizieq.
Dalam
menghadapi aksi massa Bela Islam I, II, III dan IV, polisi mempertontonkan
kepada bangsa Indonesia mampu berdiri tegak untuk mengedepankan supremasi hukum
di atas segala-galanya. Semua digiring ke ranah hukum. Jika saja, terjadi satu
orang roboh, maka verita pengamanan aksi itu bias berbalik menjadi sebuah
ancaman besar bagi Negara dan bangsa Indonesia.
Kita
melihat sendiri, tidak ada satu pun korban jatuh. Polri mampu meredam semua
gejolak termasuk isu revolusi. Jika ini terjadi, maka ancamannya adalah kepala
Negara. Bila ditumbangkan, maka Indonesia bakal menghadapi gunjang-ganjing
politik dengan distabilitas yang akan mengancam keamanan warga Negara Indonesia.
Seharusnya
kasus-kasus seperti itu tidak perlu terjadi. Para politisi – siapapun dan
instistusinya— seharusnya menjadi teladan bagi semua. Keteledoran, ketidak
hati-hatian serta perilaku buruk seorang politisi akan semakin memperberat
tugas dan tanggung jawab polisi. Politisi pemegang supremasi yang menentukan
arah bernegara dan berbangsa.
Polisi
memang bukan politisi, dia menjadi penegak hukum. Dia mempunyai kewajiban
tampil netral dan duduk tengah-tengah yang bertikai, melindungi yang lemah,
bahkan melindungi siapapun tanpa pandang bulu. Tapi kali ini, polisi memang
lebih bijak dari politisi. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar