Salah satu adegan dalam film Lawrence of Arabia /Foto: Columbia Pictures |
Thomas Edward (T.E.) Lawrence memang dibekali ilmu agama yang cukup kuat. Sejak kecil, Tom sangat aktif dalam berbagai kegiatan religi dan kerap menjadi pengiring mazmur kudus di gereja dekat rumahnya yang kini dikenal dengan nama Gwynedd, Wales, di wilayah Britania Raya.
Siapa sangka, orang British tulen ini nantinya menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Arab dari penguasaan Kesultanan Turki Ottoman. Terlepas dari bagaimana cara dan upaya yang dilakukan Tom alias Lawrence, ia adalah salah satu penyebab utama pecahnya Revolusi Arab yang pada akhirnya berujung pada kemunculan kerajaan Arab Saudi.
Mengakrabi Tanah Arab, Lawrence sudah mengenal Timur Tengah sejak usia 22 tahun. Pada tahun terakhir dekade pertama abad ke-20, ia berlayar ke Beirut yang sekarang menjadi ibukota Libanon. Lawrence menguasai berbagai bahasa asing, termasuk Prancis, Jerman, Latin, Yunani, Arab, Turki, Suriah, dan masih banyak lagi, yang membuatnya cukup mudah diterima di berbagai negeri yang dikunjunginya.
Sebagai lulusan sejarah, Lawrence mula-mula bekerja sebagai arkeolog di beberapa negara di kawasan Timur-Tengah hingga Afrika Utara. Dilibatkan oleh para ahli dari British Museum, ia beberapa kali terlibat proyek penggalian benda-benda bersejarah di Suriah, juga di Mesir, sampai mendekati 1914.
Perang Dunia I yang dimulai sejak 28 Juli 1914 menyeret Lawrence ke persoalan yang lebih serius. Sebelum perang meletus, ia diminta militer Inggris dari Imperium Britania untuk melakukan observasi di Gurun Negev (Najib). Padang pasir di wilayah Israel dan Palestina itu memang merupakan jalur strategis, dan segala informasi tentangnya akan sangat berguna bagi Inggris. Gurun Negev menjadi akses utama tentara Turki Ottoman jika hendak melakukan serangan. Kekhalifahan Turki Ottoman adalah penakluk jazirah Arab saat itu. Hampir semua wilayah di Timur Tengah berada di bawah penguasaannya, dan Inggris atau Britania Raya tentunya punya kepentingan di situ, selain keterlibatannya di Perang Dunia I.
Tanah Arab waktu itu masih dihuni oleh klan-klan yang justru saling berperang satu sama lain. Yang terbesar adalah Bani Hasyim yang juga klan sang Nabi Muhammad. Klan Hasyim ini menjadi penguasa di Mekkah dan Madinah (atau Hejaz). Sedangkan Klan Saud atau Bani Saud berkuasa di Najd, yang masih berada di kawasan Arab Saudi sekarang. Sedangkan kawasan yang nantinya menjadi Arab Saudi dikuasai Bani Saud, meskipun tetap berada di bawah kendali Turki Ottoman. Bani Saud dipimpin oleh seorang Emir bernama Hussein bin Ali alias Sharif Hussein (Jeremy Wilson, Lawrence of Arabia, 1989:199). Selain merangkul kaum Hasyimiyah, Inggris juga ingin melibatkan Bani Saud untuk melawan Turki Ottoman demi kepentingannya.
Memuluskan Ambisi Barat Bagi Inggris, Bani Hasyim yang memimpin Hejaz sangat penting. Dalam situasi krusial Perang Dunia I, penguasa Hejaz adalah Sharif Hussein yang diangkat sebagai Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909. Tanpa campur tangan Inggris sekali pun, kerajaan-kerjaan di jaziarah Arab sebenarnya sudah mulai tidak nyaman dengan status mereka sebagai bawahan Kekhalifahan Ottoman di Turki.
Salah satu penyebabnya adalah kemunduran Ottoman yang dianggap dipicu oleh penetrasi kebudayaan modern. Terkepung oleh kemajuan Eropa, Ottoman memang mulai menyurut pengasuh dan ketangguhannya. Salah satu usaha untuk memperkuat Ottoman adalah memulai pendekatan modern dalam berbagai bidang, dari pendidikan hingga persenjataan. Inilah yang membuat Ottoman, dipandang dari Arab, menjadi dekaden karena dianggap mulai menjauhi nilai-nilai Islam.
Diperumit oleh kemunculan sentimen nasionalisme Arab, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung. Dan Inggris, sebagai lawan Ottoman di Perang Dunia I, melihat hal itu dengan jeli. Inggris, bersama Prancis, menganggap menghapus pengaruh Turki di jazirah Arab sebagai keniscayaan jika ingin memperluas kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah.
Benih-benih terhadap Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman (Weldon Matthews, Library of Middle East History, Volume 10, 2006:15).
Peluang ini pun tidak disia-siakan oleh Inggris. Diutuslah Lawrence untuk menemui Sharif Hussein. Lewat Lawrence, Inggris menjanjikan sebagian besar wilayah Arab akan menjadi milik Sharif Hussein jika ia segera mengumumkan perlawanan terhadap Turki Ottoman. Inggris juga siap membantu dana perang dan persenjataan lengkap untuk Bani Saud (Pascal Menoret, The Saudi Enigma: A History, 2005:81).
Tawaran Inggris tersebut pastinya tidak gratis. Inggris mau mendukung penuh perlawanan Bani Saud kepada Turki Ottoman dengan meminta imbalan berupa penyerahan wilayah Irak dan Yaman bagian selatan, serta Teluk Persia. Selebihnya, dari Syam sampai Yaman bagian utara diserahkan kepada Sharif Hussein.
Tapi, Inggris rupanya sudah menyiapkan strategi lain. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya cuma akal-akalan belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk melawan Turki Ottoman. Tanpa sepengetahuan Sharif Hussein, Inggris pada 1916 itu juga meneken Perjanjian Sikes Piccot dengan Prancis. Isinya, wilayah Arab nanti akan dibagi dua. Inggris mendapatkan Irak, Yordania, Haifa (Israel), dan sekitarnya, sementara Prancis diberi Suriah dan Libanon. Adapun sebagian besar wilayah Palestina akan berada dalam kontrol bersama (Gordon Martel, A Companion to International History, 2008:134).
Selain itu, Inggris juga menandatangani Perjanjian Balfour yang isinya memberikan hak kepadaYahudi internasional untuk mendirikan negara zionis di Palestina jika Turki Ottoman sudah dikalahkan. Hal ini diberikan Inggris karena kaum zionis berhasil membujuk Amerika Serikat membantu (pasukan) Sekutu melawan kubu Jerman di Perang Dunia I.
Pecah-Belah Timur Tengah Pada 16 Oktober 1916, Lawrence atas perintah Inggris menemui tiga putra Sharif Hussein yaitu Ali, Abdullah, dan Faisal. Lawrence berusaha mendekati secara personal anak-anak sang emir, terutama Faisal, yang dinilai sebagai calon terbaik untuk memimpin Revolusi Arab.
Di sinilah peran krusial Lawrence bermain. Ia benar-benar membaur dengan kehidupan orang Arab agar bisa menarik hati Faisal dan saudara-saudaranya. Lawrence mempelajari Islam, sering menghadiri majelis kajian agama, dan menerapkan tradisi muslim seperti berpakaian Arab atau mengucapkan salam (Claire Chambers, Britain Through Muslim Eyes, 2015).
Lawrence pun akhirnya terlibat dalam banyak insiden melawan Turki Ottoman yang terjadi berbagai tempat. Ia menjadi penasihat militer kepercayaan Faisal. Pengaruh Lawrence amat strategis sehingga orang-orang Arab segan dan mendengar saran-sarannya dengan penuh kepercayaan.
Dibantu persenjataan oleh Inggris, dan dikawani oleh Lawrence, militer Hejaz memperoleh rentetan kemenangan atas Turki Ottoman dalam peperangan sepanjang tahun 1916-1918. Peran Lawrence tidak hanya di Mekkah atau Madinah saja, ia juga menjadi aktor kemenangan di berbagai tempat lain, termasuk Suriah dan Mesir. Salah satunya adalah Pertempuran Damsyiq yang berhasil merebut Damaskus dari penguasaan Turki Ottoman.
Lawrence pula yang dengan cerdiknya mengusulkan agar orang Turki dibiarkan melakukan pengepungan Medinah agar militer Arab bisa merusak jalur kereta api yang menghubungkan Turki dengan Hejaz. Jalur yang dibangun untuk memudahkan, terutama, perjalanan haji dari Turki ini sangat strategis karena menjadi alat transportasi logistik tentara Turki. Begitu jalur kereta bisa dirusak dan diganggu, kekuatan Turki pun pelan-pelan merosot.
Seluruh pasukan Turki Ottoman akhirnya berhasil dipukul mundur pada 27 September 1918. Itu berarti, misi Inggris (bersama Prancis) untuk menguasai Jazirah Arab hampir pasti tercapai, berkat andil besar Lawrence, yang segera pulang ke Inggris setelah tugasnya selesai. Sharif Hussein akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya, Pangeran Ali. Sedangkan Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal I of Iraqi) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah, menjadi penguasa di Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan).
Namun kekuasaan klan tersebut mulai diganggu oleh Bani Saud yang berkuasa di Nejd. Bani Saud yang sempat berkuasa di Hejaz sejak abad-17. Bani Saud mengincar kekuasaan Hussein Ali di Hejaz dan, lagi-lagi, mereka mendapatkan bantuan Inggris. Ia memulai kampanyennya dengan menaklukkan Riyadh. Pada 1926, di bawah kepemimpinan Abdul Azis, Bani Saud kembali menguasai Hejaz. Keturunan Sharif Hussein pun tersingkir dari Mekkah dan Madinah.
Abdul Azis inilah yang kemudian mendeklarasikan nama Arab Saudi sebagai nama kerajaan yang merupakan gabungan Hejaz dan Najd. Abdul Azis menjadi raja Arab Saudi yang pertama. Raja Salman yang akan berkunjung ke Indonesia adalah raja ketujuh Arab Saudi.
Lalu, apa kabar Lawrence? Setelah pulang ke Eropa pada akhir 1918, ia membantu Inggris dan Prancis dalam hal diplomasi dengan bangsa Arab. Ia juga sempat kembali bertugas di ketentaraan, termasuk sebagai intelijen, selama beberapa tahun sebelum tewas dalam kecelakaan motor di dekat kediamannya di Inggris pada 19 Mei 1935. [/maxor]
Sumber: todayonline/iswara n raditya
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar