KABARKALTIM.Co.Id, Balikpapan - Pada 28 Maret lalu adalah genap 36
tahun peristiwa pembajakan atas pesawat Garuda dengan pilot Herman Rante asal Tana
Toraja, Sulawesi Selatan, oleh lima orang orang teroris anggota Komando
Jihad. Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan
sebutan Peristiwa Woyla adalah sebuah pesawat maskapai Garuda Indonesia
dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang yang akan menuju ke
Bandara Polonia, Medan. Peristiwa pembajakan tersebut terjadi pada 28 Maret 1981.
Pembajakan dipimpin oleh Imran bin
Muhammad Zein, dan mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok Islam
ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla
tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08:00 pagi, transit di
Palembang, dan akan melanjutkan penerbangannya ke Medan dengan perkiraan tiba pada pukul 10:55 pagi.
Dalam penerbangannya, pesawat
tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang
menyamar sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk mengisi
bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia. Akhirnya pesawat tersebut
terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Muang di Bangkok,
Thailand tanggal 31 Maret.
Imran bin Muhammad Zein, pemimpin sel
kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar
para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa
Barat, supaya dibebaskan. Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando
Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981
dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan
dan terancam hukuman mati.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda
DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang
menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan
Indonesia.
Kronologi Peristiwa
Pembajakan bermula saat
pesawat yang dikemudikan Kapten Herman Rante baru saja terbang dari
Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara
Polonia, Medan. Setelah lepas landas, dua penumpang bangkit dari tempat
duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata.
Satu lagi berdiri di gang antara tempat-duduk pesawat. Pada pukul 10:10
pesawat tersebut dikuasai oleh lima pembajak, semuanya bersenjata api.
Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri
Lanka, namun pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup
bahan bakar pesawat.
Pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk
pengisian bahan bakar sebelum kemudian terbang lagi ke Thailand atas
paksaan teroris dan penerimaaan pemerintah Thailand untuk mengizinkan
pesawat tersebut mendarat di wilayahnya. Drama pembajakan pesawat Garuda
DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang
Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 Maret setelah serbuan kilat Grup-1
Para Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante, dan Achmad Kirang, salah
satu anggota satuan Para Komando Kopassandha; (kini dikenal sebagai Kopassus), meninggal dalam baku
tembak yang berlangsung selama operasi kilat pembebasan pesawat
tersebut.
Para teroris mengaku berasal dari kelompok Islam
ekstremis bernama Komando Jihad. Pada saat terjadinya peristiwa ini,
pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani
peristiwa terorisme pembajakan pesawat. Kelompok khusus militer
Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kopassandha, meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.
DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke
Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Seorang penumpang wanita lanjut
usia diperbolehkan turun di Malaysia oleh para teroris. Para teroris
kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu agar anggota Komando Jihad
yang ditahan di Indonesia segera dibebaskan, dan uang sejumlah US$ 1,5
juta.
Mereka juga meminta pesawat untuk pembebasan tahanan dan
untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan. Mereka mengancam telah
memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri
bersama pesawat tersebut.
Operasi pembebasan pesawat DC-9 dikenal
dengan sebutan Operasi Woyla yang dimulai sehari setelah tersiarnya
kabar pembajakan tersebut. Pada pukul 21:00, 29 Maret, 35 anggota
Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah DC-10 yang disewa,
dengan mengenakan pakaian sipil.
Penggunaan DC-10 dikarenakan
terdapat kemungkinan bahwa para pelaku akan menerbangkan pesawat
tersebut sampai ke Libya. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman
jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha telah
membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Pada pukul
02:30 tanggal 31 Maret, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara
diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke
sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah
ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang.
Semua tim
akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02:43, tim Komando Angkatan
Udara Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar
tidak ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim
masuk, Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang
teroris yang berjaga di pintu belakang.
Teroris tersebut menembak
dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian
bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak
dan tewas di tempat. Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris
lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh
keluar.
Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan
mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak karena pin pengaman tidak
ditarik sempurna. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia
sempat keluar. Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat. Imran bin
Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap
oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Tim medis kemudian datang
untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang
ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut. Namun Kapten Herman
Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah
kejadian tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian
dimakamkan di TMP Kalibata.
Operasi kontra terorisme ini
dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta tim-nya dianugerahi
Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad
Kirang yang gugur di dalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua
tingkat secara anumerta.
Pasca Peristiwa Pembajakan
Imran
bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini
kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tahun 1981.
Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam
Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang
lainnya. Maman dan Salman bernasib sama dengan Imran dan dieksekusi
mati. [*\maxor]
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar