(Oleh : AHMAD JAILANI, Ketua Balikpapan Jazz Lovers)
Ahmad Jaelani |
TUJUAN utama industri musik rekaman adalah keuntungan. Hal
itu berarti bahwa jumlah album rekaman yang
dijual harus mencapai jumlah angka tertentu untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, lagu yang dihasilkan harus popular. Popular dalam arti album
rekamannya bisa dinikmati dan dibeli orang sebanyak mungkin.
Istilah untuk suatu album rekaman yang banyak terjual di
Indonesia dikenal dengan hit’s atau ‘meledak’. Ukuran hit’s sebetulnya bersifat relatif,
angka penjualan 150 ribu copy sudah dianggap mencapai hit’s. Pada tahun 1980-an
angka penjualan 400 ribu copy merupakan standar hit’s. Hit’s biasanya diukur dari
rata-rata album rekaman yang terjual pada suatu kurun waktu.
Apabila dalam satu tahun
rata-rata album rekaman yang terjual hanya 100 ribu copy,
maka angka di atasnya sudah merupakan hit’s. jadi dapat dikatakan ukuran hit’s
adalah angka penjualan di atas rata-rata. Ini yang
membedakan industri musik di Amerika dengan Indonesia, di Amerika album yang
terjual sebanyak 500 ribu copy berhak mendapat dengan predikat album emas,
sedang apabila penjualannya sudah mencapai 1 juta copy maka album
tersebut mendapatkan predikat album platinum.
Dalam industri rekaman ada beberapa unsur yang
berperan dan berhubungan satu dengan yang lainnya.
Unsur-unsur tersebut adalah pelaku industri musik rekaman yang
meliputi produser dan perusahaan rekaman, musisi, penyanyi,
dan pencipta lagu. Kemudian beberapa unsur lain adalah teknologi rekaman, pemasaran,
dan pembajakan.
Dalam pengumpulan pendapat terhadap jenis lagu yang paling
digemari oleh masyarakat pada tahun 1972 yang pernah dilakukan oleh majalah musik
“Aktuil” (sekarang sudah tidak terbit lagi), ternyata orang Indonesia
lebih banyak menggemari musik pop dan rock. Sementara itu,
di tengah lajunya perkembangan musik pop dalam rekaman pada tahun 1970-an, musisi jazz
lebih banyak sebagai musisi panggung di night club, bar dan restoran serta hotel.
Posisi musisi jazz dalam studio rekaman pada masa itu, kebanyakan sebagai musisi pengiring.
Misalnya Benny Mustafa, Kiboud Maulana,
dan Hengky di Musica Studio. Kemudian sebagai music supervisor
seperti Enteng Tanamal, atau sebagai pengelola studio rekaman seperti Jack
Lesmana di Irama Tara.
Pada tahun 1970-an di Indonesia ada dua studio rekaman yang
khusus merekam musisi jazz. Pertama adalah Hidayat Record di Bandung yang
merekam dan mengedarkan kaset-kaset jazz Indonesia
dengan penyanyi seperti Rien Djamain dan Margie Segger.
Billiantana Firmansyah pemilik Hidayat Record, memang menyukai jazz sejak dia kuliah.
Kegiatannya dalam merekam musik jazz karena hobby
bukan merupakan bidang usaha atau pekerjaannya. Bisnis rekamannnya tetap jalan karena ditunjang oleh bisnis
yang lain.
Studio rekaman kedua yang sering merekam musisi jazz
adalah Irama Tara di Jakarta. Pemilik Irama Tara, Suyoso Karsono, adalah orang yang
sangat memperhatikan musisi dan musik jazz Indonesia,
Suyoso Karsono sering menawarkan rekaman di Irama Tara
tanpa mempertimbangkan rekaman tersebut nantinya akan laku atau tidak.
Beberapa rekaman album jazz yang
patut dicatat selama tahun-tahun 1960 sampai 1990 adalah dari trio Nick Mamahit,
Dick van DerKapellen, Dick Eibel yang album rekamannya pada tahun 1961 berjudul
“Rindu” menjadi hit’s di Irama Tara, mereka merekam hit’s yang lainnya berjudul
“Sarinande” yang dinyanyikan oleh Nien Lesmana.
Kemudian Bubi Chen membuat album rekaman pada tahun 1960-an
dengan judul “Lagu Untukmu”. Dan rekaman musik jazz yang muncul pada tahun 1970-an
adalah lagu-lagu ciptaan Jack Lesmana yang berjudul ”Semua Bisa Bilang” dan “Api
Asmara”. Kedua lagu itu berirama pop jazz dan dinyanyikan oleh Margie Segers pada tahun
1973. Pada tahun 1978 Jack Lesmana rekaman di Irama Tara dengan lagu pop yang
diaransemen jazz. Lagu-lagu itu antara lain “Pelangi” dan “Merpati Putih”. Musisi
jazz lain yang aktif dalam dunia rekaman adalah Ireng Maulana.
Tahun 1983
Ireng Maulana pengiring Rafika Duri dalam irama opo
jazz. Begitu juga rekaman Mergie Segers dan Ermy Kullit yang memang jazz yang
diiringi oleh Ireng Maulana. Album-album rekaman jazz yang
cukup berhasil secara komersial pada era 1980-an adalah album grup Funk Section,
Krakatau, Karimata, Emerald, Spirit, Hydro, Mahameru, January Christy.
Nah bagaimana di era tahun 2000-an nasib musisi jazz
kita dalam rekaman, sejujurnya sangat memprihatikan dari segi penjualan albumnya,
untuk mencapai angka 100 ribu copy saja sudah sangat susah untuk dicapai, seperti
album “Biting” nya Karimata yang diproduksi oleh Pro Sound dan album “Melayang”
nya January Christy produksi Aquarius yang mencapai angka penjualan 100
ribu lebih.
Kebanyakan musisi jazz sekarang membuat album
lewat lebel independen seperti demajors Record, karena mayor lebel seperti Columbia,
Universal, dan lain-lain lebih tertarik merekam album musik lain
seperti musik-musik popular. Mereka yang merekam albumnya di demajors Record
banyak musisi seperti Dewa Budjana, Indro Hardjodikoro, Tulus, Aksan Sjuman, LLW,
dan hanya beberapa artis saja yang dikotrak oleh major lebel seperti Raisa dan Ran
artis Universal, Maliq D’Essential dari Warner Music, Dira Sugandi dari Aquarius,
Andiendari Platinum, Tompidari RPM record dan Tohpati artis Sony BMG.
Bahkan untuk menghindari pembajakan musisi seperti IndraLesmana harus menjual rekamannya
via I Tunes. Kurangnya kesadaran masyarakat kita akan membeli rekaman asli juga membuat salah satu sebab industri musik
jazz kita semakin memperihatinkan, andai saja kesadaran konsumen musik kita mengubah perilakunya untuk membeli bajakan saya
rasa industri musik jazz kita akan kembali marak. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar