Februari 05, 2023

Tanggapan Artikel Prof Sudaryono : Kualitas dan Hasil Produk Perguruan Tinggi Indonesia

oleh :  Rachmat, Mantan Kades, Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Purworejo          

DALAM dunia akademisi khususnya perguruan tinggi yang meliputi pemerintah, perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa dan hasil (out put dan out come),  dari beberapa unsur tersebut punya peran dan tugas masing-masing dalam arti satu tujuan, yaitu mencetak insan kamil/akademisi yang cerdas, terampil, berkepribadian dan beriman.

Dari uraian-uraian yang dijelaskan oleh Prof Sudaryono, yang dapat saya tangkap yaitu beberapa hal yang menyangkut kualitas dan hasil dari produk perguruan tinggi kita pada umumnya.  Namun, di sini saya akan mencoba untuk mengapresisasi sesuai dengan pengertian dan pemahaman yang sangat  terbatas dalam dunia pendidikan yang saya miliki:

Pertama : Sebagian besar yang menjadi orientasi perguruan tinggi kita, khususnya mahasiswanya  sudah keluar dari pakemnya, beralih menjadi materi, gelar/predikat dan status sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari opini masyarakat/calon mahasiswa dalam hal bidang studi maupun fakultas, di mana terdapat istilah fakultas kering dan fakultas basah, fakultas masa depan, suram dan cerah. Padahal yang namanya ilmu pengetahuan tidak dapat diidentikkan dengan materi, masalah rezeki itu sudah rahasia Tuhan, Tuhan berfirman bahwa Tuhan akan menaikkan derajat umatnya beberapa derajat bagi yang berilmu. 

Sedangkan yang berorientasi pada gelar maupun predikat, sebenarnya ada pepatah mengatakan Barangsiapa yang menguasai ilmu di situ gelar akan mengikuti, tetapi barangsiapa yang hanya menginginkan gelar belum tentu ilmunya mengikuti.  Bahkan ada pepatah lain “Sarjana tanpa kesanggupan berpikir atau berkarya, ibarat embel-embel tanpa makna”. 

Untuk mencapai makna tersebut hanya demi  simbol-simbol tanpa memperhatikan aspek yang lain atau hakekat ilmu itu sendiri “Jalan pintas pun akan ditempuh” padahal hal-hal demikian ini yang akan melahirkan generasai-generasi yang sama, karena akar permasalahannya sama.

Kedua:  Out put dan out come kadang-kadang belum sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja, orientasi seorang akademisi masih terfokus pada pasar tenaga kerja yang kadang-kadang suplai dan demand  tidak seimbang, seorang akademisi hanya terpaku pada pekerja/buruh yang digaji/PNS, bukan orientasi pada wirausaha, padahal ilmu pengetahuan itu bersifat merdeka dan fleksibel tidak terkungkung pada satu bidang. Dalam seleksi recruitment tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta belum menggunakan sistem yang tepat, sebagai misal merit system, maksudnya seleksi yang didasarkan pada kemampuan akademik (Iq, Eq, Sq), akan tetapi seleksi bersifat formalitas, karena di belakang layar sudah ada ketentuan dan faktor-faktor yang lain yang menjadi tolok ukur. 

Sehingga hasil seleksinya pun tidak akan optimal azas “the right man on the right place” tidak akan terwujud dan dengan demikian kualitas SDM tidak akan terserap dengan baik.

Ketiga :  Puncak seorang akademisi dalam menempuh jenjang pendidikannya harus bisa menunjukkan karya ilmiah sebagai wujud aplikatif ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan, skripsi (S1), tesis (S2) dan desertasi (S3). Hal semacam ini kadang-kadang disepelekan atau dianggap remeh, padahal pada hakekatnya karya monumental ini yang harus dibuktikan pada masyarakat tentunya berguna juga bagi masyarakat.  Tidak sedikit mahasiswa hal ini hanya sebagai syarat kelulusan saja untuk mencapai jenjang akademi dan banyak yang menempuh jalan pintas sebagai mana plagiatisme (menjiplak), menyuruh orang lain dan lainnya dengan demikian makna seorang akademisi menjadi pudar. 

Keempat : Sebenarnya peran pemerintah sendiri dan lembaga akademi pun sangat minim dalam hal karya-karya ilmiah, bagi akademisi-akademisi yang tulen kurang termotivasi, karena hasil-hasil karya ilmiah belum tentu ditindaklanjuti maupun dihargai serta ditempatkan pada porsinya.  Kadang kala pemerintah sering memperlihatkan hasil-hasil karya ilmiah di tingkat negara, dilakukan atau mengikuti lomba karya ilmiah dengan negara-negara lain, Indonesia selalu mendapatkan nilai dan ranking tertinggi alias juara. Akan tetapi bagaimana aplikasinya di masyarakat Indonesia, mana wujudnya? Atau jangan-jangan hanya sanjungan dan nilai yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia tidak lebih yang lain, atau jangan-jangan itu hanya politik bangsa lain, karena tahu Bangsa Indonesia hanya puas dengan nama atau sebutan saja, atau itu cara-cara pembunuhan karakter dan penjajahan ilmu pengetahuan, jangan sampai Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dalam bidang ilmu dan teknologi (coba kita tanya pada rumput yang bergoyang) . 

Pola pikir pemerintah harus ditekankan pada karya bangsa bukan kecerdasan bangsa, kecerdasan tidak bisa berkarya akan hanya mewujudkan mimpi, cerdas dan berkarya adalah merupakan bukti.  Dalam hal ini pemerintah sudah mulai merambah pendidikan vokasi, pendidikan yang melahirkan skill dan keterampilan, bukan semata pendidikan yang melahirkan gelar, yang sebenarnya dua bidang ini saling kerja sama, di mana sarjana menghasilkan karya-karya ilmiah dengan hasil penemuannya dan vokasi sebagai tenaga produksi yang mewujudkan karya ilmiah tersebut.

Kelima :  Seorang akademisi tidak akan bisa terlepas dari dua unsur ini, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA), karena dua unsur ini adalah hidup dan menghidupi, seorang akademisi harus mampu melihat bagaimana potensi sumber daya manusianya dan bagaimana potensi sumber daya alamnya, sehingga tahu mau diapakan dan mau dikemanakan bangsa dan Negara Indonesia ini, jangan sampai bangsa ini hanya “melu grubyuk ora ngerti rembuk”. 

Dengan kedua potensi tersebut, mau dibawa ke negara industri atau mau dibawa ke negara agraris atau menjadi bangsa pasar atau bangsa pemasar, bangsa produsen atau bangsa konsumen, bangsa pencipta teknologi atau bangsa penikmat/pengguna teknologi.  Sumber daya alam yang dikatakan melimpah ruah pemberian Tuhan, tapi tidak ditopang dengan sumber daya manusia yang arif dan bijaksana akan hanya berubah jadi mala petaka, hal ini sudah terbukti kerusakan alam di sana-sini, bencana alam di sana-sini. Pencemaran lingkungan sudah tidak terkendalikan, unsur hara dan tingkat kesuburan tanah sudah hancur, produk pertanian sudah tercemar racun pestisida, kepunahan spesies binatang terus berlangsung, vector penyakit bermunculan baik untuk binatang ternak, tanaman pangan dan penyakit-penyakit manusia, bahan bakar minyak dan batubara sudah mulai berkurang belum ditemukan bahan bakar alternatif, sumber daya hutan dan tambang sudah mulai mengalami kerusakan. . Sekarang apa artinya pembangunan sedangkan tempat untuk membangun sendiri sudah rusak, apakah ini yang disebut pembangunan berkelanjutan ala Bangsa Indonesia? (waullohu allam). Menjadi pertanyaan, di mana peran akademisi-akademisi Indonesia untuk kemajuan dan kesejateraan bangsa ini dan bagaimana manfaat ilmu-ilmu yang telah didapat???

Keenam :  Pada dasarnya kunci seorang akadenisi hanya terletak pada : baik, benar dan bermanfaat, kalau mau ditambah kreatif, inovatif dan produktif, jangan diembel-embeli yang lain (gelar, status, predikat, materi, jabatan) yang akan membuat alam dan isinya menjadi semu, sedangkan alam diciptakan olet Tuhan nyata dan realita. Ilmu itu ada melalui proses bukan datang tiba-tiba, ilmu itu sangat tidak terbatas dan sangat luas sedangkan embel-embel sangat terbatas.  Peran ilmu bagi bangsa dan negara, tergantung bagaimana bangsa dan negara itu mampu menghargai peranan ilmu dalam berbangsa dan bernegara. Ilmu yang benar akan menjaga alam dan seisinya, bukan merusak alam dan isinya.

Kesimpulan : Ilmu pengetahuan ibarat senjata tajam, yang memiliki karakter sesuai dengan unsur-unsur yang terkandung dalam senjata tajam tersebut dan sangat dipengaruhi proses perlakuan pada waktu pembuatannya dan juga  akan mempengaruhi terhadap tingkat ketajamannya senjata itu, dengan demikian penggunaannya hendaknya juga disesuaikan dengan fungsi dan tujuannya atau penerapannya. Dengan kata lain senjata yang hanya secara fisik kelihatan tajam dan kokoh, akan tetapi tidak sesuai dengan kemampuannya, sudah barang tentu senjata itu akan tumpul dan bisa patah apabila digunakan, dengan istilah lain fungsi senjata hanya untuk gagah-gagahan, bukan untuk mengatasi atau memecahkan masalah.  Maka dari itu, bagi lembaga-lembaga yang bertugas memproduksi senjata (ilmu pengetahuan) produksilah senjata yang sesuai dengan fungsi dan tujuan senjata itu, dengan demikian senjata dapat melindungi yang punya atau yang memproduksi, bukan merusak dan menghancurkan yang punya atau yang memproduksi.  (*)

Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM