Desember 09, 2021

Tampang Bos Besar Ternyata juga Seorang Pujangga

KUTIM, KABARKALTIM.CO.ID-“Sesal selalu datang bertamu, tak kalah mata membuka pintu. Selamat datang menjadi penghangat, walau pun sepi berurai bisu. Selamat tinggal menjadi perkara tak habis dimakan waktu. Segenggam asa, tersirat dari tarian rumpun bambu”. Inilah untaian kata Ronall Junia Warsa indah terdengar menyentuh kalbu sarat makna. Lelaki kelahiran Loa Janan Ilir, 4 Juni 1984 tampang big boss (bos besar, Red) ternyata juga seorang pujangga. Puisi yang dimunculkan Onal, sapaan akrab Ronall Junia Warsa, menjadi obat pelipur lara. Tak disangka pria bertubuh besar dan gahar itu, tampak muda berkelindan puisinya yang begitu ringan, namun teramat dalam seperti dalamnya samudera. Di kala mengamati tarian rumpun bambu-nya, maka terlihat betapa kata ke kata di sana tak menyimpan misteri-Nya. Tapi bukan tak ada asosiasi di sana, atau, keterangan bahasa puisi di puisi itu mana kala rujukkan pada ceritanya. tapi dengan ini pun, penyebab mengapa cerita itu terjadi tak dijelaskan seutuhnya penyair tambun itu. Ditanya, kapan ia begitu pandai merangkai kata-kata dengan sulaman isi jiwa tertanam. Onal menjawab, dengan sangat lugasnya,"Sejak panggilan azan muncul dari toa masjid, terus-menerus mengusik jiwaku," ucapnya. Ditemui wartawan media siber Kabarkaltim.co.id, Rabu (8/12/2021) di Hotel Royal Victoria, Sangatta, Onal jujur mengakui dirinya terlibat dalam dua waktu pada puisi-puisinya. Menurutnya, pekerjaan tukang batu, atau kuli bangunan, atau mungkin kelas menengah dan atas, yang dipaksa melalui dua waktu, yakni siang hingga senja. Dua waktu tersebut, lanjutnya, harus melaluinya, suka atau tidak suka. Sekuat apa pun orang ada juga lelahnya. Maka Onal berhasil menjadi delegasi cerita kelelahan manusia melalui waktu dalam hidupnya. Apa yang menarik di bait awal puisinya itu, walau ia tampak terang kata katanya, ternyata kata yang dipakai Onal membuat rongga lubang yang bisa dimasuki. Dia menimbang satu rongga tapi rongga lain datang. Onal mengurai arti baris pertama puisinya, "Senja sekarang tiada sama dengan senja-senja mendatang". Pertama kita terpesona dengan dipakainya waktu senja, langsung mengisap dunia dalam keadaan darurat. Hendak malam harus bersiap. Yang miskin hidupkanlah lampu minyakmu. Yang kaya tekanlah saklar, sehingga lampu-lampu kristal terus menyala. Dunia batin membuat kita melambai hampa menyaksikan rambut yang telah memutih, badan telah renta, dan aduh kosongnya. Bahwa suatu waktu kelak akan meninggalkan semua yang menjadi milik ini. Tampaknya penyair menahan tak memasuki lubang ini: waktu mati. Dia tahan, isap, mati itu ke dalam kata-kata dunia bimbang. Senja sekarang tiada sama dengan senja mendatang. Jadi masih ada pergerakan hidup. Tetapi senja hari bergulir di 24 jam. Di mana tubuh seolah lilin, pagi hingga siang telur itik yang kita makan telah habis tenaganya, karena beban di pundak terasa amat berat. Dan, siang merambat ke petang telah mengisap pula makan siang yang baru saja kita telan itu. Begitulah hidup, masuk tenaga, keluar tenaga. Tapi hidup dalam bahasa, tempat penyair meletakkan semua fakta itu ke dalam ucapan puisi dengan keindahan yang keluar dari permainan bunyi. (baharsikki)
Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM