SOLO - Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan pendapat berbeda
atau dissenting opinion dalam putusan pembubaran BP Migas 2012 lalu, Harjono mengatakan perlunya dibentuk lembaga independen tetapi berada di bawah eksekutif berupa badan otorita
untuk keberlangsungan Industri Hulu Migas di Indonesia. FGD di UNS Solo, mantan Hakim MK menilai perlu dibentuk badan otorita hulu migas (ist/kg)
Hal tersebut disampaikan Harjono dalam Forum Group Discussion (FGD) di Universitas Negeri Sebelas Maret, Sabtu (1/5/2021), bersama sejumlah akademisi Fakultas Hukum di antaranya Dekan Fakultas Hukum UNS Prof Dr I Gusti Ayu Ketut Rachmi H, SH MM, praktisi migas Ir Benny Lubiantara SE MM dan ahli hukum energi Dr Lego Karjoko SH MH.
Menurut Harjono, sudah banyak bentuk otorita di negara ini yang diberikan kewenangan sebagai eksekutif untuk mengelola, seperti Badan Otorita Batam, Otoritas Jasa Keuangan dan lainnya.
“Melalui lembaga otoritas maka pengelolaan hulu migas akan selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan memberikan keleluasaan dalam mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Harjono.
Harjono menjelaskan negara berkontrak dengan swasta itu tidak mendegradasi posisi negara contohnya ketika negara membeli alutsista itu kontraknya tidak B to B tetapi B to G. “Itu tidak masalah,” kata Harjono.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof Gusti Ayu menegaskan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) setara dengan undang-undang yang harus dipatuhi.
Gusti Ayu menilai pemerintah harus taat pada undang-undang sehingga harus menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi. “Negara harus segera melaksanakan putusan MK guna menjamin ketahanan energi sebagai tanggung jawab negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan,” tegas Ayu.
Prof Gusti Ayu mengatakan implementasi putusan MK harus dilakukan dengan membuat naskah akademik untuk RUU Migas yang baru harus segera disiapkan agar meningkatkan trust baik dari dalam maupun luar negeri. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar