PENGANTAR: Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) setiap tahun rutin melakukan bhakti kesehatan di pulau-pulau terluar, khususnya di Indonesia timur. Akhir Oktober hingga awal November 2019, kapal kesehatan dari Surabaya itu melaksanakan tugas kemanusiaan kepupalaun Kabupaten Pangkep. Butuh 20 jam perjalanan laut dari Makassar menuju wilayah di Sulawesi Selatan itu. Di bawah ini kisah-kisah tenaga kesehatan memberikan pelayanan disana.Di bawah ini laporan Gandi Wasono M yang ditulis bersambung.
NIKE Indria (23) tak bisa melupakan kejadian di bulan Februari 2019 lalu, ketika membantu menangani persalinan seorang ibu. Cerita tersebut sangat membekas karena membetot rasa kemanusiaannya. Ceritanya menjelang subuh ada seorang keluarga pasien datang ke tempat tinggalnya sebagai bidan di Puskesamas Pembantu (Pustu) di Desa Satenger, Pangkep, Sulsel.
Ia diminta untuk membantu persalinan Rosana. Awalnya persalinan tersebut ditangani seorang dukun bayi desa setempat, tetapi karena ada masalah sang dukun bayi tidak mampu mengatasi sehingga meminta bantuan dirinya.
Begitu datang ia melihat kondisi ibu yang baru pecah ketuban itu memburuk dan sangat mengkhawatirkan. “Komplikasi menjelang kelahiran membuat Bu Rosana selain kesakitan, juga kadang dibarengi dengan kejang-kejang tak sadarkan diri,” kata Nike Indria, ketika ditemui di Puskesmas Pulau Sailus, tempat Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) memberikan pelayanan kesehatan.
SEMBILAN JAM YANG MENDEBARKAN
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan Nike angkat tangan. Ia tak memiliki kemampuan cukup untuk menangani persalinan seperti yang dialami Rosana yang berisiko tinggi. Satu-satunya jalan ibu yang melahirkan untuk anak keduanya tersebut harus segera dirujuk ke rumah sakit di Sumbawa.
Sumbawa dianggap lebih dekat. Meski memasuki wilayah provinsi lain tetapi “hanya” membutuhkan waktu 9 jam perjalanan laut dianggap waktu paling cepat, dibandingkan harus ke Makassar yang memerlukan waktu dua hari dua malam lamanya.
Tanpa membuang waktu, di tengah kepanikan, di hari yang masih gelap tersebut suami Rosana mencari perahu nelayan disewa untuk membawa istrinya ke rumah sakit di Sumbawa.
“Tetapi dasar apes, posisi perahu itu kandas baru bisa jalan pukul 07.00 pagi menunggu sampai air pasang,” kata Nike yang saat itu dia stres karena harus berjuang dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa si ibu dan anak dalam kandungannya.
Nike tak bisa melupakan masa yang penuh keteganggan di sepanjang perjalanan. Ketika perahu yang ditumpang membelah laut yang bergelombang dia juga berusaha dengan kemampuan yang dimiliki menjaga menstabilkan kondisi tubuh Rosana yang naik turun tak menentu.
Ia masih ingat ketika baru setengah perjalanan dan perahu melintas di sekitar Pulau Moyo, tiba-tiba Rosana fisiknya memburuk. Ibu yang bersuamikan seorang nelayan tersebut tiba-tiba kejang-kejang tak sadarkan. Meski panik ia berusaha tenang. Agar tak melukai bibir dan lidahnya, bibir Rosana yang mengatup kuat itu diganjal menggunakan sendok.
“Tak bisa digambarkan bagaimana tegangnya saat itu. Kepala saya yang semula agak pusing dan mual karena goncangan ombak langsung mendadak hilang,” kata gadis asal Desa Satanger yang sudah mengabdi bertahun-tahun sebagai bidan honorer harian tersebut.
Di tengah kekalutan amat sangat tersebut, yang terlintas di benak Nike hanya satu bagaimana perahu tersebut melaju dengan cepat sehingga bisa segera tiba di Sumbawa. “Karena saya tahu kondisi Bu Rosana sudah sangat kritis. Ibaratnya ini adalah perjuangan antara hidup dan mati,” imbuhnya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat mendebarkan baru sekitar pukul 16.00-an perahu yang membawa Rosana bersama keluarga besarnya merapat di dermaga Sumbawa. Tanpa membuang waktu Rosana bergegas dibawa menuju RSUD Sumbawa menggunakan angkutan umum.
Beruntung, dokter kebidanan seketika itu langsung menangani dengan cepat. Melalui proses operasi caesar lahir bayi perempuan lahir dengan selamat. Tetapi, lagi-lagi paska persalinan kondisinya kesehatan Rosana kembali memburuk, hingga pukul 21.00 dokter tidak mampu mengatasi dan akhirnya nyawa Rosana tidak tertolong.
Begitu meninggal dunia sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat jenazah Rosana tidak dibawa pulang tetapi dimakamkan di Sumbawa. Bagi warga kepulaun itu ada semacam pantangan perahu digunakan untuk membawa jenazah.
“Masyarakat yang ada di pulau sini seperti itu. Jadi mau tak mau jenazah mendiang Ibu Rosana dimakam di seberang,” papar Nike yang sampai saat ini bila teringat peristiwa tersebut tak bisa membendung air matanya.
Sebagai masyarakat kepualauan Nike meminta pemerintah turun tangan secara serius menyediakan sarana kesehatan yang merata sekaligus dengan seorang dokter. Agar kejadian seperti Rosana itu tidak terulang.
“Yang dialami Rosana ini adalah satu dari sekian kejadian yang seringkali terjadi,” kata Nike yang gajinya sebagai tenaga bidan harian lepas Rp 500 ribu per bulan itu pun baru diterima setiap 3 atau 4 bulan sekali.(*/ps)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar