Kaki SUTT 43 (baharsikki/kk) |
KUTIM, KABARKALTIM. CO.ID-
Kontraktor proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kapasitas 150 Kilovolt
yang dikerja PT. Graha Power Kaltim (GPK) dinilai ratusan warga yang terdampak
kabel SUTT mengabaikan Peraturan Bupati Kutai Timur Nomor
188.4.45/537/HK/XI/2008 tentang santunan tanam tumbuh yang diteken Bupati Awang
Faroek Ishak tanggal 6 November 2008.
Dalam peraturan
bupati poin 4 diputuskan, bahwa ‘Harga Satuan Tanam Tumbuh Kabupaten Kutai
Timur Tahun 2008,Jika Dalam Perkembangan dan Pelaksanaannya di Lapangan Terjadi
Ketidaksesuaian Dalam Penetapan Harga, Maka Upaya Yang Dilakukan Adalah Melalui
Musyawarah Untuk Mufakat Dengan Berpedoman Pada Peraturan Perundang-Undangan
Yang Berlaku”.
Tekait dengan nilai
santunan tanam tumbuh yang terdampak bentangan kabel SUTT PLTU wilayah
Sekambing Bontang sampai Desa Suka
Rahmat, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, pihak GPK tak pernah
mengajak warga bicara soal harga satuan tanaman. Saat pendataan, tidak semua
tanaman diganti rugi. Padahal, peraturan bupati mewajibkan semua tanaman
diganti rugi, baik itu tanaman palawija maupun tanaman keras.
“Kami ingin
diperlakukan adil. Kalau begini, tidak fair. Tidak pernah dimusyawarahkan
tentang harga per pohon tanaman, kok tiba-tiba dibayar. Yang nilainya
ditentukan sendiri GPK. Kacau begini urusan kacau republik Indonesia,” kerutuk
warga setempat yang kesal, Kamis 18 Mei
2019.
Karena harga ganti
rugi tanaman milik warga ditetapkan GPK tampak musyawarah, maka warga dibuat
tidak berdaya. Meskipun kecewa, warga dipaksa menerima harga santunan tanam tumbuh yang nilainya
kecil. Tidak sesuai harga pasaran. “GPK menjajah kami. Yang diganti rugi tanamanya,
itu tergantung GPK-nya. Saya tidak tahu pakai aturan dari mana,” tanya warga
merasa bingung.
GPK tidak
transparan dalam mendata tanaman, serta landasan hukum yang digunakan dalam
menentukan harga satuan. Sementara, tanpa seizin warga terdampak kabel, GPK
terus bekerja membentang kabel PLTU puluhan kilometer. GPK hanya minta izin
sama Kepala Desa Suka Rahmat Parakkasi. Selanjutnya, kepala desa Suka Rahmat,
tak menyampaikan kewarganya soal pemasangan kabel SUTT. Sehingga warga
bertanya-tanya. Seolah-olah hidup di negeri jajahan. “Kok, belum dibayar
kompensasinya. Kabel sudah dibentang. Gimana ini,” tanya warga.
Warga curiga ada
oknum yang bermain dalam urusan pembebasan lahan SUTT, kompensasi tanah
berdasar Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2018,
serta penetapan besaran nilai satuan santunan tanam tumbuh. “Katanya pakai tim
independen, tapi yang memilih tim adalah GPK tanpa melibatkan waga,” ucap
warga.
Selanjutnya, Yoga
selaku tim independen menurut GPK melaksanakan tugasnya sesuai aturan. Kata
Yoga, harga satuan tanam tumbuh tiap daerah berbeda. Bontang punya sendiri
aturan ganti rugi tanaman. Kutai Kartanegara, juga punya aturan sendiri soal
santunan tanam tumbuh. Begitu pula Kutai Timur, juga punya aturan tersendiri. “Harga
satuan ganti rugi tanaman di Kukar lebih tinggi dibanding Bontang dan Kutim,” papar Yoga. (baharsikki)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar