Wilson Lalengke |
Belakangan ini, misalnya, santer
beredar kabar tentang deal-deal bisnis berupa jual-beli suara yang diperoleh
antar calon legislatif (caleg). Bagi para kandidat yang mendapatkan jumlah
suara kecil berupaya ‘menjual’ jumlah suaranya kepada caleg yang berpeluang
mendapatkan kursi namun suaranya masih belum mencukupi. Kondisi ini kurang
mendapat perhatian publik, termasuk oleh media massa.
“Jika ini dibiarkan terjadi, sulit dibayangkan betapa buruknya hasil demokrasi kita dalam pemilu kali ini,” ujar Wilson Lalengke, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, ketika dimintai pendapatnya terkait fenomena tersebut, Selasa, 23 April 2019.
Lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini mensinyalir bahwa pola jual-beli suara antar caleg itu sering terjadi di masa lalu, dan sudah mulai terdengar hari-hari belakangan ini. “Bahkan ada informasi yang masuk menyebutkan oknum caleg menyediakan dana 2 miliar untuk membeli suara dari caleg-caleg yang perolehan suaranya kecil di dapil tertentu di Sumatera,” imbuh Wilson yang juga adalah Ketua Umum PPWI itu.
Menurutnya, perilaku caleg yang
melakukan deal-deal bisnis suara semacam ini merupakan salah satu bentuk money
politic atau politik uang. “Pembelian suara rakyat itu bukan hanya sebatas pada
serangan fajar yang dilakukan sebelum pencoblosan. Ketika seorang caleg
menyerahkan perolehan suaranya kepada caleg lain dengan imbalan uang, itu
merupakan money politic. Harus diwaspadai dan diproses oleh pihak terkait jika
ada yang begitu,” jelas Wilson.
Bahkan, menurutnya, caleg yang
melakukan jual-beli suara, baik sipenjual maupun pembeli suara, lebih buruk
moralitasnya dibandingkan dengan caleg dan warga pemilih yang terlibat money
politic serangan fajar. “Moralitas oknum-oknum caleg yang terlibat jual-beli
suara itu jauh lebih buruk dari warga yang terlibat serangan fajar. Mengapa?
Karena oknum-oknum itu nyata-nyata menghianati kepercayaan rakyat yang telah
memberikan suaranya kepada mereka, dan memperlakukan sejumlah suara rakyat itu
sebagai komoditi bisnis belaka,” tegas peraih gelar Masters of Art (MA) bidang
Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University,
Swedia, itu.
Akibatnya, lanjut Wilson, sebagian anggota legislatif yang dihasilkan oleh pemilu 2019 nanti merupakan pejabat bermoral rendahan, tidak amanah, dan cenderung koruptif dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota dewan. “Bagaimana tidak? Caleg model begini pasti beranggapan bahwa dia duduk di Senayan bukan karena kepercayaan rakyat, tapi karena investasi dana besar yang sudah dikeluarkannya. Mereka adalah anggota dewan bermoral rendahan, produk demokrasi dagang sapi,” ujar Wilson lagi.
Akibatnya, lanjut Wilson, sebagian anggota legislatif yang dihasilkan oleh pemilu 2019 nanti merupakan pejabat bermoral rendahan, tidak amanah, dan cenderung koruptif dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota dewan. “Bagaimana tidak? Caleg model begini pasti beranggapan bahwa dia duduk di Senayan bukan karena kepercayaan rakyat, tapi karena investasi dana besar yang sudah dikeluarkannya. Mereka adalah anggota dewan bermoral rendahan, produk demokrasi dagang sapi,” ujar Wilson lagi.
Apa yang harus dilakukan? “Harus
dicegah, jika ada caleg terindikasi melakukan jaul-beli suara antar caleg,
harus diusut dan diproses. Caleg yang beli suara dari caleg atau partai lainnya
harus didiskualifikasi, dicoret dari daftar calon anggota dewan terpilih.
Sanksinya harus tegas seperti itu, jika kita ingin menciptakan Lembaga DPR RI,
DPD RI, dan DPR Daerah yang baik, bermutu, dan produktif bagi rakyat,” tambah
Wilson. (APL/Red)
Beberapa langkah strategis yang
dapat dilakukan masyarakat dalam mengantisipasi munculnya para pelaku jual-beli
suara caleg, menurut Wilson, antara lain sebagai berikut:
1. Tingkatkan dan perkuat monitoring rekapitulasi suara di semua tingkatkan, mulai dari TPS/KPPS, PPS, PPK, KPU Kota/Kabupaten, KPU Provinsi hingga ke KPU Pusat. Harus dipastikan bahwa rekap jumlah suara di tiap tingkat itu sesuai dengan Formulir C1.
2. Mengupayakan penerbitan press release (siaran pers) berita hasil rekapitulasi suara di tiap tingkatkan, minimal mulai dari tingkat PPS, baik oleh petugas pemungutan suara dan saksi, pemantau, media maupun pihak-pihak berkepentingan lainnya.
3. Membuat laporan ke Panwaslu/Bawaslu jika terjadi hal-hal yang terindikasi curang, jual-beli suara, pengalihan suara caleg, dan lain-lain, untuk diproses sesuai koridor hukum yang berlaku.
4. Setiap caleg perlu menjaga komunikasi dengan pimpinan partai masing-masing agar perolehan suara para caleg terkait di dapil masing-masing dikontrol ketat. Dengan demikian, suara para caleg tidak mudah berpindah ke caleg lainnya, baik ke sesama caleg di internal maupun ke partai lainnya.
1. Tingkatkan dan perkuat monitoring rekapitulasi suara di semua tingkatkan, mulai dari TPS/KPPS, PPS, PPK, KPU Kota/Kabupaten, KPU Provinsi hingga ke KPU Pusat. Harus dipastikan bahwa rekap jumlah suara di tiap tingkat itu sesuai dengan Formulir C1.
2. Mengupayakan penerbitan press release (siaran pers) berita hasil rekapitulasi suara di tiap tingkatkan, minimal mulai dari tingkat PPS, baik oleh petugas pemungutan suara dan saksi, pemantau, media maupun pihak-pihak berkepentingan lainnya.
3. Membuat laporan ke Panwaslu/Bawaslu jika terjadi hal-hal yang terindikasi curang, jual-beli suara, pengalihan suara caleg, dan lain-lain, untuk diproses sesuai koridor hukum yang berlaku.
4. Setiap caleg perlu menjaga komunikasi dengan pimpinan partai masing-masing agar perolehan suara para caleg terkait di dapil masing-masing dikontrol ketat. Dengan demikian, suara para caleg tidak mudah berpindah ke caleg lainnya, baik ke sesama caleg di internal maupun ke partai lainnya.
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar