Presiden Jokowi dan Prabowo/ Foto: Biro Pers Setpres |
KABARKALTIM.CO.ID, Balikpapan -- Selepas KTT G-20 Argentina, di mana kehadiran Indonesia
diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla (JK), penggiringan opini yang menyudutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
mulai digencarkan. Dengan menggunakan logika yang sangat menyedihkan, para pendukung
Prabowo coba menghubungkan ketidakhadiran Jokowi itu disebabkan kapasitas
Jokowi yang tidak diperhitungkan, bahkan Indonesia tidak memiliki
pengaruh. Benarkah demikian?
Mungkin opini seperti itu bisa jadi merupakan penggiringan yang menyesatkan dan kesengajaan untuk melakukan kebohongan publik. Jokowi memang tidak hadir di KTT G-20 Argentina 2018, Namun, lupakah kita Jokowi hadir di KTT G-20 Jerman tahun lalu? Bahkan Jokowi bertemu bertemu para kepala negara berpengaruh mulai dari AS, Perancis, Turki, dllnya lagi.
Tidak hanya itu, beberapa bulan lalu Jokowi pun membuat kagum para pemimpin dunia di World Economic Forum ASEAN dengan tema pidatonya "Avengers". Jika pun mereka membahas ketidakhadiran Jokowi dan hanya diwakilkan oleh Wapres JK, itu bisa dibandingkan dengan banyaknya ketidakhadiran kepala negara lainnya dan hanya diwakilkan oleh wakilnya.
Lebih dari itu, sebenarnya cara pandang atau opini yang dijadikan rujukan utama di atas dapat dikatakan salah kaprah. Di atas sebuah kehadiran yang terpenting adalah dampak dari kehadiran Indonesia (tidak harus Presiden) setelah forum tersebut, dan itulah yang dilakukan Jokowi selama ini.
Untuk menjawab pertanyaan kenapa Jokowi tidak hadir di beberapa Forum Internasional maka Koordinator Jaringan Masyarakat Muslim Melayu/JAMMAL, Rofiq Al Fikri, mengulasnya sebagai berikut.
Masih teringat jelas di benak kita semua saat Pilpres 2014
lalu, di mana Presiden Jokowi saat kampanye selalu dicitrakan oleh para
lawan politiknya sebagai sosok yang tidak memiliki kapasitas pemimpin
dunia. Pembawaannya yang sederhana dan apa adanya dicitrakan oleh lawan
Jokowi sebagai kekurangan Jokowi saat tampil di dunia internasional.
Jokowi dianggap mereka akan membuat malu karena pembawaannya yang dianggap tidak tegas dan
berwibawa. Namun, setelah 4 tahun menjabat apa yang terjadi?
Rasanya belum luntur kebanggaan kita sebagai warga
Indonesia saat para pemimpin ekonomi dunia di depan forum resmi
IMF-World Bank Meeting menyampaikan kekagumannya terhadap pidato
Presiden Jokowi yang mereka anggap menaikkan level sebuah pidato di forum
resmi internasional.
Selesai pidato, Jokowi diberi standing ovation (tepuk
tangan sambil berdiri yang merupakan tanda penghormatan tertinggi dalam sebuah forum). Menurut ekonom Indonesia Miranda Goeltom, dari puluhan forum IMF-World
Bank Meeting yang pernah diikuti, standing ovation kepada Jokowi adalah
yang terlama, ia pun kagum.
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyebutkan: "Pidato Presiden Jokowi luar biasa karena telah menaikkan level pidato,
waw". Adapun Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengatakan, "saya
rasa, setelah Pak Jokowi sudah tidak ada lagi dari kami yang memberi
sambutan, karena semua pesannya sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi
dengan sangat baik." Belum lagi pujian dari para Dubes Denmark, Belanda,
terhadap pidato Jokowi yang memang sangat kreatif, dengan tema film "Game Of Thrones" Jokowi menegur negara-negara besar di dunia yang
tengah melakukan perang dagang yang menimbulkan dampak negatif terhadap
kondisi perekonomian negara lain.
Sejak 2014, Jokowi selalu distigmakan anti Islam, para
pendukung Prabowo (khususnya PKS) yang selalu mengklaim membela
Palestina kini pun seolah malu bukan kepalang. Di saat Presiden Jokowi
dengan tegas membela kemerdekaan Palestina di berbagai forum dari mulai
PBB hingga Interpol (Polisi Internasional). Lawan Jokowi, Prabowo justru
mendukung pemindahan kedutaan Australia ke Yerusalem yang artinya
dia -- (secara tidak langsung -ed.) -- mendukung penjajahan Israel terhadap Palestina.
Untuk diketahui, di Forum Interpol, Kapolri Tito Karnavian
atas perintah Presiden Jokowi memperjuangkan agar Kepolisian Palestina bisa
diterima masuk sebagai anggota Interpol, setelah sebelumnya terus
digagalkan. Berkat lobi Indonesia, di 2018 untuk pertama kalinya
Kepolisian Palestina pun resmi menjadi bagian interpol. Itu adalah keputusan
penting yang tidak banyak orang tahu.
Pun di Forum PBB, bukti nyata penilaian dunia internasional
terhadap kemampuan Indonesia dalam memperjuangkan perdamaian dunia di
bawah rezim Presiden Jokowi terlihat nyata saat Indonesia terpilih
menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Tidak main-main posisi Anggota DK PBB itu adalah rebutan
seluruh negara karena bisa mengintervensi posisi dan penempatan pasukan
keamanan dunia, dan Indonesia dengan lantang di forum internasional
menyampaikan akan memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan kewenangan
yang baru itu.
Presiden Jokowi pun di luar dugaan dengan sangat tegas dan
konsisten berani menegur dan melawan setiap negara yang berencana
memindahkan Kedubesnya ke Yerusalem. Jokowi yang selama ini difitnah
antek asing oleh lawan politiknya bahkan berani melawan Presiden AS
Donald Trump yang sangat rasis, membenci Islam dan mendukung penuh
Israel.
Dengan kondisi seperti itu, pendukung Prabowo mulai sadar
tidak mungkin rasanya menjual isu Jokowi anti Islam dengan isu Palestina
karena Prabowo yang justru anti Palestina. Maka kini mereka coba
mengalihkan isu bela saudara muslim Uighur di Cina, salah satu suku
di Cina yang dianggap didiskriminasi oleh Pemerintah Cina.
Mereka coba memframing, jika Jokowi tidak akan mampu
membela Suku Uighur karena kedekatannya pemerintah Indonesia dengan
Cina. Lagi-lagi sejak 2014 kita tahu bahkan Jokowi difitnah lawannya
memiliki nama Cina yang sampai sekarang itu terbukti hoaks.
Terlepas dari persoalan Uighur di Cina adalah persoalan
konflik etnis yang tidak sesederhana yang dibayangkan para pendukung
Prabowo, pendukung Prabowo sedang menjalankan strategi menutup borok
dengan menunjuk musuh. Ya, baru saja dengan jelas dan publik tahu jika
Prabowo disumbang dana kampanye oleh Komunitas Tionghoa di Indonesia
sebesar Rp 450 juta.
Bayangkan, Jokowi yang dianggap antek Cina selama ini
hubungannya sebatas investasi dan bisnis resmi, sementara Prabowo
betul-betul didukung dan dimodali oleh para pengusaha Cina agar menang
dalam pertarungan politik.
Tidak ada makan siang gratis, dalam politik, ketika dana
sudah diberiakan posisi sudah berhasil dimenangkan, maka donatur akan
mampu menyetir si penerima sumbangan dan Prabowo yang sudah bersedia
disetir Cina coba menutupinya dengan citra ia pemimpin yang kasar dan
galak (bukan tegas).
Pendukung Prabowo juga berusaha menggiring opini bahwa
hubungan Indonesia dengan sesama tetangga melayu muslimnya Malaysia
semakin renggang karena Mahathir Mohammad, pemimpin muslim di sana
menang dan tidak sejalan dengan Jokowi.
Suatu hal yang konyol karena bahkan sebelum Mahathir
terpilih kembali menjadi Perdana Menteri, di depan media CNN ia
menyampaikan kekagumannya kepada Jokowi yang dinilai sebagai Presiden
yang demokratis dan pemimpin dunia yang berani dan hebat. Saat terpilih
menjadi PM, Mahathir pun memilih Indonesia sebagai negara di ASEAN yang
dikunjunginya, karena pertimbangan Jokowi sebagai pemimpin di ASEAN yang
paling berpengaruh.
Mahathir dan Jokowi pun sepakat untuk bersama-sama membela
dan terus memperjuangkan hak muslim di Rohingya, Myanmar. Dengan
konsistensi Presiden Jokowi untuk membela saudara muslim di dunia selama
menjabat, Mahathir pun dengan sangat yakin dan mantap memilih Indonesia
sebagai mitranya untuk memperjuangkan isu tersebut.
Begitulah kehidupan di dunia, tegas bukan berarti harus
keras, keras bukan berarti menjamin seseorang itu tegas, bahkan bisa
saja lembek. Itulah contoh yang paling mewakili -- (sesuai fakta bukan hoax -ed.) -- dalam melihat Jokowi dan
Prabowo dalam hal kepemimpinan politik.
Jokowi yang tampil sederhana di berbagai forum
internasional, ketegasannya diakui dan disegani dunia internasional
karena Jokowi tegas dalam tindakan, kebijakan politiknya real.
Sementara Prabowo, dengan penampilan yang garang bak macan lapar
ternyata tidak pernah sedikitpun mendapat simpati dari dunia
internasional.
Bahkan dunia Internasional melihat Prabowo adalah sosok
yang bisa disetir. Cina, Australia, dan AS misalnya, mereka menaruh
harapan kepada Prabowo di 2019 untuk bisa menjadi Presiden, sehingga
ketiga negara itu bisa menyetir Presiden, juga lembaga negara tertinggi di
negara ini untuk mengikuti kepentingan pribadi para bandar dan taipan
dunia, yaitu mengeruk kekayaan Indonesia tanpa memikirkan kesejahteraan
rakyat. [*/mx]
Editor: Max Oroh
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar