KABARKALTIM.CO.ID - Lembaga kajian jurnalistik Reuters Institute for the Study of Journalism rutin menerbitkan hasil surveinya melalui Digital News Report. Beberapa waktu yang lalu mereka telah menyurvei 7.000 orang dari 36 negara tentang kepercayaan pada media sosial dan media arus utama. Hasil jajak pendapat menyatakan bahwa 33 persen warga global mengaku sudah tak percaya pada kebenaran berita.
Sebagaimana dikutip antaranews disebutkan, 24 persen responden percaya media sosial melakukan tugas yang baik dalam memisahkan fakta dari hasil karangan, sementara dalam tugas yang sama, media arus utama mendapat suara 40 persen.
Seorang fotograper seni mengabadikan sebuah pohon dengan tehnik fotografi [Foto: Museum of Hoaxes] |
Uniknya, di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lain, para responden cenderung lebih percaya pada media arus utama yang dianggap mampu menghentikan penyebaran berita bohong, terutama dari media sosial. Sementara di negara lain seperti Yunani, para warga lebih percaya pada media sosial.
"Meski media arus utama tidak dipercaya, mereka masih punya tingkat kepercayaan dua kali lipat lebih tinggi untuk memisahkan fakta dari fiksi dibanding media sosial. Berita bohong sebenarnya merupakan kabar baik bagi jurnalisme, karena bisa menjadi kesempatan untuk membangun kembali nilai penting mereka bagi masyarakat dan fokus pada kualitas" kata Nic Newman, kepala tim penulis edisi keenam Digital News Report.
Newman mengatakan bahwa banyaknya berita bohong membuat orang rela membayar mahal untuk mendapatkan berita dari media terpercaya. Kini 16 persen warga Amerika Serikat bersedia berlangganan berita dibanding sembilan persen pada waktu sebelumnya. Bukti yang ada juga menunjukkan kecenderungan sama di negara lain.
Meski banyak yang menganggap kalangan muda lebih memilih berita gratis, penelitian tahunan Reuters Institute menunjukkan bahwa 35 persen konsumen berita dari kalangan muda di seluruh dunia mau membayar berita berkualitas, sebagaimana yang mereka lakukan untuk mendapatkan layanan musik (Spotify) dan video (Netflix).
Jajak pendapat Reuters Institute, yang menggunakan jasa YouGov, juga menunjukkan bahwa 54 persen konsumen kini menggunakan media sosial untuk mengetahui berita terbaru. Survei yang sama juga menunjukkan keterkaitan erat antara rendahnya tingkat ketidakpercayaan kepada media dan anggapan bias pemberitaan.
Kecenderungan ini sangat nampak di negara-negara dengan polarisasi politik tinggi seperti Amerika Serikat, Hongaria, dan Italia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump sering kali menyerang media arus utama karena dianggap menyebar kebohongan dan tidak adil dalam peliputan.
Newman berpendapat bahwa peran media sosial belum tergantikan, meski banyak orang kini memilih aplikasi pengirim pesan untuk mendapatkan berita, karena frustrasi terhadap debat berkepanjangan di Facebook dan Twitter.
"Media sosial berperan besar untuk penyebaran berita insidental, terutama di negara-negara dengan media yang dikontrol oleh pemerintah. Media sosial menyebarkan lebih banyak sudut pandang dan isu, sebagaimana terjadi saat krisis migran di mana orang-orang melaporkan secara langsung dari tempat penampungan pengungsi" jelasnya. [*\maxor]
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar