Mei 31, 2017

Persoalan Hukum LGBT di Indonesia : Polisi Terjepit di Antara HAM dan Norma Agama

 oleh : Priyo Suwarno 


(foto net)
TUGAS aparat kepolisian bukan cuma memberikan jaminan keamanan urusan politik saja, seperti di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan gubernur bersifat kedaerahan, ini ternyata punya gaung nasional yang luar biasa. Betatapun dengan potensi besar terjadi kerusuhan, Polri ternyata sudah membuktikan diri mampu mengamankan Jakarta, hingga Pilgub selesai, meski masih menyisakan persoalan hukum.

Itu hanya sebagian kecil tugas menjaga keamanan dan penegakkan hukum di Indonesia. Karena setiap hari, polisi akan berurusan dengan persoalan hukum yang selalu saja terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Orang mengenal pekat di masyarakat itu bertumpu pada lima persoalan besar, menurut sitilah Jawa: Molimo (maling+ tindak kriminal/ pencurian; madon: berzina; minum=mabuk-mabukan; main= perjudian; madat= shabu dan narkoba). Lima penyakit masyarakat ini semakin berkembangan dengan model dan aneka macam penyimpangan yang sulit dinalar dibungkus life style yang menurut nilai sosial dan agama dianggap menyimpang.



(foto net)
Dulu, orang tua kita selalu menjaga ketat anak putrinya. Melarang anaknya keluar bersama lawan jenisnya. Harus dikawal atau ditemani kakak atau rekan lainnya. Bagaimana orang tua dulu menjaga ‘kesucian’ anak-anaknya secera ketat, sehingga hubungan atau komunikasi langsung dua lawan jenis begitu sulit dengan batasan-batasan etika dan sopan santu yang ketat.

Bagi orang tua di zaman yang disebut ‘modern’ sekarang was-was orang tua bertambah berat, karena kekhawairan justru anak putrinya terlalu karab dengan sahabat perempunnya. Demikian pula remaja pria lengket dengan teman sejawabnya yang berjenis kelamin Adam. Persoalna sekarang ini, hubungan pribadi lelaki dan perempuan menjadi multidimensi. Bukan hanya pria-wanita, tetapi juga bisa pria-pria, wanita-wanita, bahkan lebih gila lagi campuran.

Sebelumnya polisi penggerebekan di Surabaya, lalu melebar di Jakarta, ketika petugas keamanan menangkap praktik praktik gay di Jakarta. Hal itu baru bisa dibuktikan, setelah melakukan pengintaian selama dua pekan terhadap kegiatan pesta seks kaum gay  yang dilakukan di salah satu ruko di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

(foto net)
Polisi bertindak selah mendapatkan laporan ada aktivitas mencurigakan yang berbau prostitusi yang terjadi di ruko tersebut. Selama dua pekan, secara intens petugas memantau kegiatan itu. Setelah diyakini bahwa ruko tersebut sebagai tempat pesta seks, pada Minggu (21/5) malam polisi menggerebek ruko itu.

Saat penggerebekan, ada petugas kemananan ruko yang sedang berjaga. Namun, petugas keamanan tak bisa melawan karena sejumlah petugas kepolisian telah mengepung kawasan itu. Polisi lalu menyisir lantai dasar yang dijadikan sebagai tempat fitness. Di lantai ini, tidak ditemukan adanya aktivitas yang mencurigakan. Penggerebekan kemudian berlanjut ke lantai dua ruko.

Costum superhero yang digunakan penari striptis saat pesta kaum gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (22/5). Di sana, ditemukan para pengunjung yang sedang menyaksikan pertunjukan striptis. Sebagian penonton tak mengenakan busana. Kondisi di lantai ini layaknya sebuah pesta di sebuah diskotek.

Polisi lantas menyisir lantai tiga yang dijadikan sebagai tempat spa. Di lantai ini polisi juga menemukan sejumlah pengunjung yang tak mengenakan busana berkumpul dengan sesama jenis. Polisi tidak menemukan adanya pengunjung yang sedang melakukan hubungan badan. Ada sebanyak 141 orang yang diamankan.

Dalam kasus itu polisi menetapkan sepuluh tersangka, yaitu empat orang bernisial CD, N, D, dan RS yang merupakan pengelolan tempat tersebut, SA, BY, R, dan TT penari striptis, dan A, S tamu yang tertangkap basah sedang menari bersama para penari striptis yang juga berjenis kelamin pria.

Penggerebkan ini merupakan upaya polisi memberantas penyakit masyarakat (Pekat), sekaligus mencegah terjadi segala macam bentu penyimpangan sosial di masyarakat. Bukan hanya pujian, tetapi banyak pula kritik yang ditujukan kepada aparat kepolisian.

Kritik datang dari Koalisi Advokasi untuk Tindak Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas, Identitas, dan Seksual mendampingi warga yang diamankan polisi dalam penggerebekan pesta gay 'The Wild One' di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Polisi dianggap melakukan tindakan sewenang-wenang dalam penggerebekan tersebut.

Koalisi ini terdiri dari LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Arus Pelangi. Isnur menjelaskan proses setelah orang-orang tersebut diamankan.

Disebutkan ‘korban’ digerebek, ditangkap, dan digiring menuju Polres Jakarta Utara dengan ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam bus angkutan kota. Sesampai di kepolisian, sejumlah korban digiring untuk diperiksa dan dilakukan penyelidikan, memberikan catatan pelanggaran atas penangkapan itu.  Tindakan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan menurunkan derajat kemanusiaan para korban.

Koalisi menganggap penangkapan ini sebagai preseden buruk bagi kelompok minoritas gender dan seksual lainnya. Isnur menyebut penangkapan di ranah paling privat ini bisa menjadi acuan untuk tindakan kekerasan lain yang bersifat publik. Untuk dia mengimbau agar tidak menyebarkan data peribadi korban karena ini adalah bentuk ancaman keamanan bagi korban dan pelanggaran hak privasi setiap warga Negara; tidak menyebarluaskan foto dan/atau informasi lain yang dapat menurunkan derajat kemanusiaan korban; memberikan hak praduga tak bersalah bagi korban dan bila korban dinyatakan tidak bersalah untuk segera dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya.

Inilah Negara hukum, dimana petugas keamanan selalu saja dibatasi semua gerak dan tindakannya meski itu dalam kerangka penegakkan hukum dan ketertiban sosial. Di negeri demokratis dan berlandasarkan hukum ini, hak individu semakin menguat. Kadang mengalahkan kepentingan publik, polisi berada di dua kekuatan kepentingan yang sama-sama punya legitimasi.

Presiden Joko Widodo kepada BBC dalam wawancara eksklusif di Solo, Oktober 2016, menegaskan bahwa Indonesia menghormati hak asasi manusia namun ada ‘norma sosial’ yang juga masih sangat kuat.

Presiden menyebutkan bahwa di Indonesia tidak ada diskriminasi untuk minoritas, baik yang terkait etnis ataupun agama. Semuanya diberikan perlindungan saja. Tapi, kata Presiden, bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang mempunyai norma-norma agama, itulah yang harus orang ingat, dan orang harus tahu mengenai itu, bahwa kita mempunyai norma-norma.

Apakah homoseksualitas akan dipidanakan di Indonesia seperti yang sekarang sedang diusahakan oleh beberapa kalangan di Mahkamah Konstitusi, ia menegaskan tidak perlu melakukan perubahan terhadap hukum yang ada terkait itu. Dan jika ada kalangan minoritas yang terancam, katanya, polisi harus melindungi. Polisi harus bertindak. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun.

Namun ia menambahkan bahwa, "masyarakat Indonesia mempunyai budaya, mempunyai norma- norma, dan di Indonesia, keyakinan (umum) memang tidak memperbolehkan itu, agama tidak memperbolehkan itu."

Kondisi ini merupakan factor-faktor pemicu benturan nilai di tengah-tengah masyarakat, satu sisi menunjukkan bahwa LGBT merupakan pilihan bebas orientasi seksual individu, tetapi disisi lain normal agama dan sosial melarang dan menolak.

Risikonya jelas, terjadi benturan nilai di tengah masyarakat. Indonesia harus melakukan mengupayakan solusi sebaik-baiknya tas persoalan ini, agar kelak menjadi baik adanya. Misalnya diselesaikan melalui sebuah undang-undang tertentu, untuk mencegah benturan nilai tersebut. Aturan lainnya untuk mencegah agar jangan sampai setiap kali muncul penanganan hukum, polisi selalu ditimpa kesalahan dalam bertindak. 

Maklum sudah muncul beberapa kali kasus penggrebekan terhadap komunitas atau praktik LGBT di Indonesia. Disitu polisi bertindak mencegah dan mengamankan agar tidak terjadi bentrok yang kemudian menimbulkan gangguan sosial di masyarakat lebih dalam.

Inilah tugas dan beban berat yang harus dipikul Polri, menjaga dan melindungi masyarakat ketika terjadi benturan nilia di tengah-tengah masyarakat. Dari gambaran di atas, maka  disitulah posisi aparat keamanan menjadi serba salah serba sulit bertindak, tetapi harus dilaksanakan dengan mengedepan kepentingan individu maupun masyarakat umum. Sulit bukan! (*) 

Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM