Oleh
Priyo Suwarno
Sunaryanto |
PERBUATAN baik semoga mendapat balasan
yang baik pula, inilah yang dialami Ajun Ispektur Satu (Aiptu) Sunaryanto. Dia
baru saja memperoleh penghargaan dari Pemerintah DKI Jakarta, atas jasanya
berhasil menyelamatkan korban penyenderaan di dalam angkot.
Sebelumnya,
Kapolda DKI, Irjen (Pol) Irjen. Pol. Drs. Mochamad Iriawan kini menyusul
penghargaan dari Pemerintah DKI. Penghargaan itu diberikan,
Sunaryanto, polisi lalu lintas Jakarta Timur itu, berhasil menyelamatkan seorang ibu dan anak dari aksi
penodongan di angkutan umum beberapa waktu lalu. Sekaligus mampu melumpuhkan
dan menyelamatkan pelaku dari amukan massa.
Pelaksana
Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono memberikan penghargaan berupa uang
tunai Rp10 juta. Sumarsono mengatakan, aksi heroik yang dilakukan oleh
Sunaryanto telah jadi bukti nyata dari kesadaran aparat kepolisian akan
tugasnya untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
"Padahal
saat kejadian, Sunaryanto ini tidak sedang bertugas. Maka atas sikap pahlawan
penuh rasa kemanusiaan untuk menolong sesama, kami Pemprov DKI memberikan
apresiasi pada Aiptu Sunaryanto," kata Soni, sapaan Sumarsono di Balai
Kota DKI Jakarta, saat Apel Relawan Siaga Bencana, Kamis (12/4).
Pemprov juga memberikan penghargaan berupa sertifikat
tanda terima kasih. Sementara itu, Sunaryanto sendiri tidak terlalu banyak
bicara. Ia mengaku senang atas apresiasi yang diberikan Pemprov DKI dan
berharap bisa menambah semangatnya dalam bertugas.
Sebelumnya
ia juga mendapat penghargaan dari Polda Metro Jaya karena ia dinilai bisa
menaikan citra Polri di mata masyarakat. Aksi penyanderaan pada ibu dan bayinya
terjadi pada Minggu (10/4) lalu di Perempatan Buaran, Jakarta Timur dalam
angkot KWK-T.25 jurusan Rawamangun-Pulogebang.
Pelakunya
Hermawan yang menyandera Risma Oktaviani (25) yang tengah menggendong putranya
yang masih balita, Dafa Ibnu Hafiz. Pengendara jalan berkerubung tapi tak bisa
berbuat banyak. Hermawan saat itu mencekik dan mendodongkan pisau di leher
Risma. Penjambret mengancam bakal menggorok leher Risma yang tengah menggendong
anaknya dalam keadaan panik.
"Saya
bujuk biar dia mau lepas itu ibu sama anaknya, biar saya aja yang gantiin. Saya
bilang juga ke dia bahwa saya jamin kalau korban dilepaskan, dia enggak akan
diamuk massa," tutur Sunaryanto. Namun, bujuk rayu Sunaryanto tak mampu
melunakan Hermawan. Dia terus mengancam akan membunuh korban jika permintaanya
tidak dipenuhi.
"Dia
bilang: ‘Kalau Bapak nembak saya, saya matiin
ini anak sama ibunya' sambil pisaunya diarahin ke anaknya. Ibunya nangis-nangis
minta tolong anaknya diselametin," kata Sunaryanto. Namun, bujuk rayu
Sunaryanto tak mampu melunakan Hermawan.
Mengahdapi
suasana gawat menyangkut nyawa manusia, maka seorang petugas harus melakukan
tindakan paling aman bagi siapapun termasuk pelaku. Mengambil keputusan yang
tepat dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, bukan pekerjaan mudah.
Sunaryanto sempat ragu untuk menembak pelaku lantaran takut salah sasaran.
Tetapi dia wajib melakukan tindakan yang tepat. Sebagai umat bergaman,
Sunaryanto pun berpasrah kepada Ilahi, "Saya lillahi ta'ala saja. Saya
baca shalawat, begitu dia lengah, saya sikat (tembak)," ucap dia.
"Untung kena tepat sasaran. Saya yakin tembakan saya enggak akan lari
ke kaca belakang angkot yang lagi banyak massa, soalnya pas saya tembak posisi
tangan pelaku lagi di bawah," sambungnya. Dor! Hermawan keskaitan,
langsung melepaskan pisaunya, lalu berhasil diringkus. Sementara dua sandera
ibu dan anaknya bisa diselamtakan.
Inilah tugas berat yang di pundak setiap aparatur Polri. Selain
menyelematkan korban, juga menyelamatkan pelaku. Sesungguhnya lebih mudah bagi
Aiptu Sunaryanto untuk menembak kepala atau tubuh pelaku, akan tetapi dengan
kekuatan mental dan sangat focus, maka dia berhasil menembak lengan tersangka,
pelaku hingga drama penyenderaan dalam angkot itu bisa diakhiri dengan sangat
elegan dan sesuai cita-cita dan prosedur penindakan di tubuh Polri.
Oleh karena itu selayaknya kepada Sunaryanto diberikan penghargaan satu
contoh petugas yang berhasil menjalankan kewajibannya secara berintegritas.
Disitu bersemayam sikap tanggung jawab, kepedulian, dan menjaga teguh sumpah
sebagai anggota Polisi.
Contoh serupa juga pernah terjadi, di Tarakan, 4 April 2017 lalu. Drama penyanderaan terhadap dua balita di
Jalan Gajah Mada RT 1 Kelurahan Karang Anyar Pantai, Kota Tarakan,
Kalimantan Utara, Selasa (4/4).
Pelaku penyanderaan bernama Vulla tewas
ditembak polisi. Polisi terpaksa menembak Vulla karena mengancam sandera yang tak lain adalah
dua keponakannya sendiri menggunakan sebilah parang. Parang
itu diarahkan ke perut seorang sandera. Sebelum ditembak, polisi
sudah berupaya membujuk Vulla untuk membebaskan dua keponakannya, tapi tak
digubris. Polisi kemudian melakukan tindakan paling represif –demi
menyelamatkan dua nyawa anak-- yaitu dengan cara menembak pelaku. Dalam
kejadian ini, sebelumnya pelaku menyerang Ernawati, ibu dua balita itu hingga
mengalami tiga luka tusukan di bagian lengan, dada dan paha bagian kiri.
Dari dua kisah itu kita bisa membayangkan betapa rumit kerja polisi dalam
melaksanakan penegakan hukum dan tertib masyarakat, Jika tembakan itu meleset
sedikit saja, lalu mengenai yang lain, pastilah petugas akan dicerca
habis-habisan.
Bukan berarti setelah kasus penyenderaan oleh Hermawan dan Vulla, tindakan
kriminal penyenderaan lalu berhenti. Kita semua berharap demikian adanya,
jangan ada lagi kasus-kasus penyenderaan lagi cukup berhenti sampai disitu saja,
tetapi tidak ada yang bisa menjamin. Artinya, polisi wajib seratus 100 persen
berjaga-jaga untuk menghadapi berulangnya kasus serupa di lokasi dan waktu
berbeda.
Patut dicatat juga dua kasus besar criminal pun sukses diungkap oleh tim
kepolisian. Dalam tempo 2 X 24 polisi berhasil meringkus pembunuh lima orang
satu keluarga Riyanto beserta istrinya Sri Riyani, 2 anak (Syifa Fadillah
Hinaya dan Gilang Laksono) serta mertua Riyanto, Maryani (60).
Terakhir polisi berhasil meringkus Andi Lala alias Andi Matalata, otak
perampokan disertai pembunuhan itu yang terjadi di Jalan Mangaan I Kel. Mabar
Kec. Medan Deli Kota Medan, Minggu (8/4/2017) dini hari.
Sebelumnya, peristiwa tragis empat korban tewas masing-masing Gandi Ginting di Jalan Milala, Sidomulyo,
Medan Tuntungan. Korban bertumpuk di dapur yang saat itu kebakaran pada hari
Rabu (5/4/2017), masing-masing Marita Sinuhaji (58), Frengki Ginting,
(29), anak kandung Marita Sinuhaji. Dua cucunya Kristin Beru Ginting (3) dan
Selvy Beru Ginting (5), anak Frengki Ginting.
Semula kasus ini diduga hanyalah persoalan kebakaran, ternyata di balik itu
semua pembakaran rumah itu merupakan tindak kriminal, soal sengketa jual beli
lahan. Kini polisi Polda Sumut telah meringkus lima tersngka yang diduga
sebagai algojo kasus pembunuhan empat nyawa sekeluarga itu.
Penanganan dan pengungkapan kasus-kasus itu membutuhkan integritas seluruh
aparat kepolisian dipertaruhkan untuk melakukan penegakkan hukum di segala
bidang. Hal itu pula yang juga ditunjukkan oleh Novel Baswedan, pria yang
pernah menyandang pangkap Ajun Komisaris Polisi (KP) lulusan Akademi Kepolisian
1998 itu sekarang berkarier sukses di KPK.
Novel baru saja mengalami teror penyerangan fisik langsung, setelah
sebelumnya mendapat ancaman dan gangguan psikologis selama melaksanakan
tugasnya turut membongkar sejumlah kasus megakorupsi di Indonesia. Dia diserang oleh dua pelaku dengan cara
menyiramkan benda cair --diduga air keras-- ke wajahnya.
Novel Baswedan |
Banyak pihak menganalisis serangan ini terjadi, karena upaya balas dendam
atau untuk menakut-nakuti Novel agar berhenti membongkar kasus korupsi terutama
yang bersentuhan dengan tokoh tokoh nasional. Ini bisa dimaklumi memang sepak
terjang Novel Baswedan selama berkarier di KPK sangat mengesankan.
Terbukti Noval tidak begitu segan membongkar perkara korupsi di tubuh
almamaternya sendirinya. Tentu ini bukan sebuah penghkhianatan, melainkan sikap
integritas total di dalam menegakkan hukum yang sama untuk siapa saja.
Oleh karenanya layak Sunaryanto dan Novel Baswedan disebut sebagai ikon baru
penegakkan hukum yang lahir dari institusi Polri. Disebut ikon baru karena
lembaga kepolisian sebelumnya sudah mencetak tokoh, hero-hero, pejuang dan
orang-orang yang selalu mengabdikan diri dalam penegakkan hukum, sebuat saja
lengenda kepolisian mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso.
Bulan April 2017 ini kita sudah mencatat sedikitnya dua tokoh dari
kepolisian yang bisa disebut sebagai ikon baru untuk menyemanaikan dan
menumbuhkembangkan sikap patriot dalam penegakan hukum. Dan tokoh-tokoh ini
lahir guwa garba Polri. Institusi Polri layak untuk terus melahirkan generasi
patriotik untuk menegakkan keadilan sekaligus sebagai pondasi utama memelihara
persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar