Januari 18, 2020

Munculnya "Kerajaan-kerajaan" : Reaksi Dominasi Negara yang Tak Menyentuh Kehidupan

catatan : raga affandi (kabarjateng) 

SAYA mengagumi para pendiri "kerajaan-kerajaan" yang sepertinya baru muncul akhir-akhir ini. Bagi saya, ini adalah reaksi atas dominasi negara yang tak menyentuh kehidupan banyak orang. Keraton Agung Sejagad (KAS), Sunda Imperium, Kesultanan Selacau, adalah representasi dari masyarakat mitis, menurut van Peurson dalam Strategi Kebudayaan, yang tak siap dengan fungsionalisasi budaya. Kelompok mitis masih merupakan jumlah terbesar dalam masyarakat kita.

Di tengah budaya rasional yang mengepung seluruh sendi kehidupan, beberapa orang menampilkan regresi sebagai para royalis, pemuja feodalisme, hubungan raja-abdi, yang lebih memenuhi kebutuhan mereka dalam memandang kebutuhan bernegara. Mekanisme pertahanan diri ini masih jauh lebih baik daripada mekanisme agresi yang tampil dalam masyarakat modern yang tak mampu mengikuti perkembangan zaman.

Bayangkan jika seluruh kebutuhan dasar kita dipasok oleh sumber-sumber yang diharamkan, seperti para aseng dan zionis. Tak ada peluang untuk berdikari, sementara kemampuan untuk berkreasi dan memproduksi sudah tak lagi memadai. Apapun yang kita sentuh adalah produk "musuh". Kita akhirnya menjadi paranoid. Membuat benteng-benteng ilusi dengan mengharamkan banyak hal, melarang ini dan itu, berkumpul hanya dengan kelompok sendiri dalam kecemasan, sementara seluruh isi rumah adalah produk liyan yang dibenci.Justru masyarakat seperti ini yang lebih tumbuh subur dibandingkan masyarakat regresif yang membuat kerajaan-kerajaan halusinatif namun terukur. Masyarakat paranoid akan tumbuh menjadi masyarakat agresif, memandang siapa pun di luar mereka adalah musuh. Hidup seolah-olah dalam situasi perang, sah memakai siasat keji karena bersifat darurat. Menyebarkan kabar bohong dengan ajaran-ajaran tekstual yang tak relevan dengan perkembangan zaman.
Kedua masyarakat ini, regresif dan agresif sama-sama rawan penipuan. Mereka tak punya teknologi, tak punya kebiasaan memproduksi, denial dan marginal. Mereka hanya terbiasa dengan jual-beli. Ketika tak ada lagi yang bisa dijual, padahal masih harus membeli, maka mereka akan memproduksi modus penipuan, yang bisa dijual kepada para pengikut fanatik. Bagaimanapun, mereka adalah masyarakat dewasa. Kita hanya mengamati. Menjadi anggota kerajaan adalah pilihan, selama tak menjadi kriminal. Kalau tetap kukuh, ya perlu aksi polisional, agar yang tertipu bisa dilindungi. (*)
Baca Juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Follow Kami

NEWS UPDATE

POPULER

INFO LOWONGAN KERJA

JADWAL PENERBANGAN BANDARA SAMS SEPINGGAN BALIKPAPAN

INFO CUACA KALTIM