Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko - (JossToday) |
Senin, 14 Januari 2019
KABARKALTIM.CO.ID, Jakarta -- Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam banyak kasus menjadi sesuatu peristiwa yang relatif dan nisbi.
KABARKALTIM.CO.ID, Jakarta -- Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam banyak kasus menjadi sesuatu peristiwa yang relatif dan nisbi.
Berbagai kasus yang di satu sisi dianggap melanggar HAM di sisi lain selalu ada alasan yang membuatnya tampak tidak.
Dengan kata lain bahwa pelanggaran HAM bukan menjadi keputusan mutlak meskipun dari kaca mata hukum internasional.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko: "Di era Pemerintahan Jokowi relatif tidak ada kasus pelanggaran HAM berat yang signifikan. Apa yang ada, masih ada saat ini, adalah bagian dari residu masa lalu."
Kesulitan barang bukti, kesaksian, hingga sumirnya data pendukung kerap
kali menjadi alasan bagi sulitnya mengukur kasus-kasus pelanggaran HAM
secara hukum matematis.
Maka wajar jika kemudian isu-isu
pelanggaran HAM kerap kali menjadi alat untuk saling menyerang
berkepanjangan tanpa keshahihan bukti.
Wajar pula bila
pengungkapan hanya untuk sebuah kasus pelanggaran HAM pun kadang memakan
waktu yang amat sangat lama bahkan sampai orang lupa hingga tak pernah
terungkap.
Tak terkecuali saat debat capres dilakukan. Menurut
rencana isu soal HAM akan menjadi tema awal dalam pelaksanaan debat
capres pada 17 Januari 2019.
Kenisbian isu pelanggaran HAM dalam debat capres menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Kabarnya, kubu Prabowo-Sandi akan mengangkat persoalan terkait
lambannya Pemerintahan Jokowi dalam mengungkap kasus yang menimpa Novel
Baswedan.
Tumpulnya pisau hukum di era Jokowi dianggap sebagai faktor yang menyebabkan lambannya pengungkapan kasus tersebut.
Menanggapi hal itu, kubu Jokowi melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengaku telah mengantisipasi hal tersebut.
Mengangkat isu HAM dalam debat capres bagi kubu Jokowi ibarat bumerang
yang bisa digunakan untuk menyerang balik kubu lawan politik.
Menurut Moeldoko, justru ada pelanggaran HAM berat lain yang juga belum selesai sampai saat ini.
Ia menegaskan, di era Pemerintahan Jokowi relatif tidak ada kasus
pelanggaran HAM berat yang signifikan, apa yang ada masih ada saat ini
adalah bagian dari residu masa lalu.
Belum Konkret
Kubu
Jokowi memang telah menyusun sembilan fokus utama yang akan dilakukan
dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Salah satunya, Jokowi-Ma'ruf berjanji melanjutkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Wakil Ketua TKN Arsul Sani mengakui, dalam tema debat ini, kasus
pelanggaran HAM akan menjadi salah satu prioritas pembahasan TKN,
khususnya soal kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sementara Kubu
Prabowo justru melihat isu HAM menjadi alat politik yang selalu
digunakan untuk menggoyang eksistensinya dalam dunia politik.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Adi Prayitno menyebut isu pelanggaran HAM selalu mengikuti sepak terjang
Prabowo dalam percaturan politiknya.
Meski muncul musiman namun
tak pelak menjadi batu sandungan yang berat baginya sehingga tak heran
ketika Lingkar Survei Indonesia (LSI) yang sempat melakukan survei pada
2014 menemukan hasil bahwa serangan isu HAM berdampak telak pada
elektabilitas Prabowo.
Sayangnya, Kubu Prabowo sampai saat ini
seperti belum memiliki strategi khusus untuk membuktikan keshahihan
dalil bahwa Prabowo tidak terlibat kasus penculikan 1998.
Padahal
di sisi lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) saja misalnya sampai saat ini masih menilai bahwa pasangan
capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan nomor urut 02
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum memiliki komitmen yang konkret
terkait penegakan HAM.
Relatif
Memandang pelanggaran HAM
memang seperti menegakkan hukum relativitas. Boleh jadi semua sepakat
bahwa mencelakakan siapapun termasuk menghilangkan nyawa warga negara
merupakan sesuatu yang melanggar HAM.
Namun keterlibatan menjadi sulit untuk dibuktikan di mata hukum manakala pembuktian tidak memenuhi syarat.
Oleh karena itu, pengamat politik sekaligus penggagas dan pendiri
Gerakan Damai Nusantara Jappy M. Pellokila mengatakan debat capres boleh
jadi menjadi instrumen yang baik bagi kedua pasangan calon untuk
menjelaskan visi dan misinya terkait penegakkan HAM.
Bagi Jokowi
misalnya, kata Jappy, sudah saatnya bagi capres petahana itu untuk
membuktikan janjinya dan keberpihakannya dalam penyelesaian kasus HAM
yang terjadi meskipun jika itu kasus warisan dari pemerintahan
sebelumnya sekalipun.
Jokowi diharapkan mampu membeberkan
komitmen kuatnya untuk membuktikan sesuatu yang pernah dijanjikannya
bahkan sejak 2014 lalu.
Sementara bagi Prabowo, debat capres
dengan tema HAM layaknya menjadi ajang yang sangat baik baginya untuk
menjelaskan dan mengklarifikasi isu dirinya sebagai pelanggar HAM berat.
Menurut Jappy, momentum itu justru menjadi peluang yang sangat istimewa
bagi Prabowo untuk menjawab isu yang selama ini paling signifikan
menjatuhkan citranya di mata publik.
Ia mengatakan, sudah saatnya semua pihak berhenti saling menghujat masing-masing visi dan misi kedua capres.
Pelanggaran dan penghambatan HAM menjadi nisbi karena bukan hanya
perilaku kontemporer umat manusia pada suatu rentang waktu dan lokasi
tertentu, melainkan tindakan-tindakan yang terjadi sejak masa lalu,
namun tidak pernah hilang serta dihilangkan.
Hal itu juga
berarti, pelanggaran dan pembatasan HAM telah merupakan suatu yang
muncul dan terjadi seiring dengan sejarah umat manusia dan
kemanusiaannya.
Pelanggaran dan pembatasan HAM terjadi pada dan
oleh banyak orang di semua bangsa, suku bangsa, dan sub-suku dan
korbannya pun adalah mereka yang berasal dari berbagai bangsa, suku
bangsa, dan sub suku.
Kini saatnya memberikan ruang bagi mereka untuk menjelaskan, biarkan masyarakat menilai dan memutuskan mana yang terbaik.
Sebab masyarakat berhak untuk menentukan sendiri mana yang terbaik
menurut mereka, mengingat lebih sering segala sesuatu sifatnya nisbi dan
relatif termasuk pelanggaran HAM. (ANTARANews/*/mx)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar