oleh : Mohammad Adib Khumaidi (Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia)
dr Mohammad Adib Khumaidi |
Indonesia juga
mempunyai potensi multiple hazard yang lain seperti : tsunami, gunung berapi,
banjir dan badai , longsor
, kebakaran , huru hara, penyakit menular dan epidemic. Setiap hazard dapat dimodifikasi dan dicegah dan dikurangi risikonya. Kalaupun terjadi
dampaknya (impact) bisa dikurangi dan kerusakannya pun minimal. Apalagi bila
daerah tersebut telah mempunyai ketahanan (resilience) terhadap hazard
tersebut.
Resilience tersebut
di antaranya
adalah absorbing capacity untuk menyiapkan rumah sakit dengan struktur bangunan
yang tahan gempa, banjir, kebakaran dan lain-lain. Buffering capacity yaitu
disaster plan di rumah sakit, kota/kabupaten bahkan provinsi yang rutin dilakukan
pelatihan bersama setiap tahun. Serta mampu menanggulangi kegawatdaruratan
sehari-hari yang sekarang digencarkan oleh pemerintah untuk setiap daerah
kabupaten/kota mempunyai Public Safety Centre (PSC) yang mampu diekskalasi
dengan cepat apabila terjadi bencana (mass casualty).
Problematika dalam
penanggulangan bencana secara epidemiologi terbagi dalam 3 hal utama, yaitu : kesehatan, pangan/
keterjaminan persediaan makanan dan perumahan/shelterisasi.
Sehingga indikator
yang dipakai adalah Status Kesehatan
yang meliputi : angka
morbiditas, mortalitas ,status nutrisi, akses ke tempat pelayanan kesehatan,
rasio usia balita dan usia lanjut yang merupakan kelompok paling rentan/potensi
penyakit pasca bencana. Kelayakan tempat pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit dsb), dalam aspek terjadi
functional collapse atau structural collapse, jika terjadi structural colllapse
perlu dipikirkan untuk mendirikan RS lapangan. Selain itu program kesehatan
masyarakat juga sudah dilakukan melalui Rapid Health Assesment (RHA).
Kemudian
memperhatikan juga Aspek Lingkungan yang meliputi : ketersediaan air, sanitasi,
pemukiman sementara, kondisi ekonomi, sosial dan politik.
Evaluasi terhadap
efektivitas dan effikasi terhadap
respon dalam kesehatan, meliputi aktivitas imunisasi, ketersediaan makanan, aktivitas
program kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan (poliklinik atau perawatan).
Selain itu juga memperhatikan sektor vital : rasio distribusi makanan yang
merata, higiene dan sanitasi,
shelterisasi , pakaian , selimut dan bahan bakar minyak untuk memasak.
Dampak angka kejadian
penyakit pasca gempa adalah : trauma
(bedah) , pasien non trauma (masalah penyakit dalam, anak, kebidanan, Psikiatri
(post traumatic stress disorder -PTSD), public health (air, sanitasi, gizi,
infeksi, penyakit menular, dll). Angka kejadian penyakit non trauma yang paling
banyak adalah : Infeksi Saluran
Nafas, Gastroenteritis ( infeksi
pencernan ) yaitu kholera, dysentri,
campak ,malnutrisi serta Demam , malaria
, leptopisrosis juga perlu diwaspadai.
Perlu diwaspadai juga
pada saat fase akut bencana ( impact ) terutama pada kasus-kasus trauma adalah
menghindari resiko infeksi pasca pembedahan. Bagaimana tindakan saat pembedahan
yang mencegah dan mengurangi kejadian infeksi diikuti dengan pengawasan pasca
pembedahan dan perawatan luka harus juga dilakukan . Kebutuhan ATS dan
antibiotika serta alat kesehatan untuk rawat luka menjadi prioritas untuk
disiapkan pada fase akut ini.
Tidak semua risiko
kesehatan yang potensial dan aktual pascabencana akan terjadi di waktu yang
bersamaan. Risiko itu cenderung muncul di waktu yang berbeda dan cenderung
berbeda tingkat keparahannya di wilayah
yang terkena bencana. Dengan demikian, jatuhnya korban biasanya terjadi di
waktu dan tempat terjadinya dampak dan korban itu membutuhkan perawatan medis
segera, sedangkan risiko meningkatnya penularan penyakit membutuhkan waktu yang
lebih panjang untuk berkembang dan risiko tersebut memuncak di tempat yang
berpenduduk padat dan standar sanitasinya memburuk.
Resiko infeksi ,
penyebaran penyakit menular merupakan “ secondary disaster “ yang dapat terjadi
dan akan menjadi masalah besar jika tidak dilakukan pencegahan dari awal.
Penanganan yang baik saat tindakan trauma dan
perawatan pasca operasinya serta pemberian antibiotika yang adekuat .
Pengelolaan lokasi pengungsian dengan memperhatikan air bersih , lingkungan dan
sanitasi yang baik terutama MCK . Memberikan makanan yang bergizi serta air minum yang bersih dan tidak
terkontaminasi . Program kesehatan masyarakat juga harus dijalankan sejak fase
akut ini untuk pencegahan “ secondary disaster “.
Secara garis besar dalan
program penangulangan bencana , perlu diperhatikan 2 hal pokok, yaitu : Medical
Support yang pasti akan langsung bergerak terutama kelompok dokter dan tim
tenaga kesehatan lainnya yang dilengkapi obat dan alat kesehatan sementara yang
selanjutnya dukungan obat dan alkes harus dilakukan untuk menjaga
keberlangsungan pelayanan kesehatan yang sudah dilakukan . Tidak kalah
pentingnya adalah Management support. Hal ini yang sepertinya di Indonesia paling sering terjadi karena
tidak adanya koordinasi antara personel, lembaga pemerintah maupun swasta.
Dukungan jumlah besar di fase awal baik itu SDM dokter dan tenaga kesehatan
dari luar daerah gempa , obat , alat kesehatan , makanan , pakaian dan lain
sebagainya harus diselenggarakan dengan menajemen yang baik dalam
pengelolaannya . Kesiapsiagaan yang ditunjang dengan koordinasi, kolaborasi dan
saling berintegrasi dengan stakeholder yang terkait akan dapat menciptakan
“SAFE COMMUNITY “. (*)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar