Bambang Soesatyo |
Ekses
yang mengemuka sejak sebelum dan sepanjang periode tahun politik 2019
adalah polarisasi masyarakat. Dari kampret versus cebong menjadi 01
versus 02. Rivalitas itu nyata-nyata tidak sehat dan juga tidak
produktif.
Fakta
tentang polarisasi masyarakat ini harus disikapi dengan sangat serius
dan bersungguh-sungguh.
Sebagai sebuah kecenderungan yang tidak sehat dan tidak produktif,
polarisasi masyarakat tidak boleh berlarut-larut. Pada gilirannya,
polarisasi itu akan berdampak pada ketahanan nasional.
Pemerintah,
DPR dan semua institusi negara bersama organisasi besar di bidang
keagamaan telah menunjukkan keprihatinan sekaligus kepedulian terhadap
masalah polarisasi ini.
Berbagai pendekatan terus diupayakan untuk mengakhir polarisasi. Namun,
tanpa kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat, semua upaya
pendekatan itu akan sia-sia.
Sebab,
pada akhirnya, faktor penentu ada pada kemauan serta niat baik dan
tulus semua komunitas di negara ini.
Kini, seharusnya tidak ada lagi rivalitas politik antar-komunitas,
karena tahun politik 2019 yang memuncak pada Pilpres – Pileg telah
berakhir, dan telah difinalisasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
pada 27 Juni 2019.
Biarlah
panggung rivalitas politik itu selanjutnya diisi dan dilakoni oleh para
politisi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya
masing-masing.
Patut untuk diingat dan digarisbawahi oleh semua komunitas bahwa bagi
para politisi, tidak ada rivalitas abadi, tidak ada pula musuh abadi dan
tidak ada teman atau anggota koalisi yang abadi. Satu-satunya yang
abadi dalam politik adalah kepentingan.
Kalau
sudah bicara tentang kepentingan, selalu muncul pertanyaan siapa
mendapat apa dan siapa yang harus lebih didahulukan. Kalau sudah begitu,
jelas bahwa tidak ada alasan sedikit pun bagi semua elemen akar rumput
masyarakat Indonesia untuk mempertahankan atau merawat polarisasi
sekarang ini. (bamsoet)
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar